Penulis: Fauzan Machmud dan Supriadi ALSA Local Chapter Universitas Hasanuddin
A. Kasus Posisi (Facts) Rancangan Undang-Undang Pemilu yang dalam beberapa waktu terakhir sangat intens diramu dan diwarnai dinamika perdebatan tingkat tinggi elit politik akhirnya disahkan. Melalui mekanisme pengambilan suara (voting), pengesahan dilakukan pada rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Jumat (21/7/2017) dini hari. Di dalam RUU Pemilu tersebut, setidaknya ada 5 (lima) isu krusial yang menyebabkan tidak tercapainya kesepakatan dalam pembahasan tingkat Panitia Khusus. Lima isu itu yakni sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas parlemen, metode konversi suara, dan alokasi kursi per dapil. Bukan hanya di DPR, masyarakat Indonesia pun secara gencar mengkritisi dan mengkaji perihal isu tersebut. Dari kelima isu, yang paling menyita perhatian publik adalah persoalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Ambang batas syarat pencalonan Presiden atau presidential threshold adalah pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik jika tidak mencapai presentase tertentu. Presidential Threshold mempunyai makna yang hampir serupa dengan Electoral Threshold (ET). Pelaksanaan pemilu dalam sistem multi partai ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan adanya mekanisme Electoral Threshold.
Pengaturan tentang Presidential Threshold awalnya merupakan hal yang sederhana dalam penerapannya di pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pada periode tahun 2004, 2009, dan 2014. Penetapan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menjadi satu hal yang mudah untuk diketahui karena pada periode tersebut pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum legislative. Artinya untuk melihat terpenuhi atau tidaknya Presidential Threshold hanya tinggal dilihat saja perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik di pemilihan umum legislatif apakah telah memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Polemik mengenai penetapan ambang batas presiden mulai mencuat ketika pada tahun 2013 lalu dimana Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, memutuskan bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak bersamaan dengan pemilihan umum legislatif, pemilu serentak baru akan dilaksanakan pada periode tahun 2019. Mahkamah Konstitusi juga memberikan simulasi bagaimana pemilu serentak akan dilaksanakan, dalam pemilu serentak nantinya akan terdapat 5 (lima) kotak yaitu kotak I untuk DPR, kotak II untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kotak III untuk Presiden dan Wakil Presiden, kotak IV untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), dan kotak V untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota).
Salah satu poin penting dalam Putusan MK di atas yang menarik perhatian masyarakat adalah Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 masih tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat artinya bagi Mahkamah Konstitusi penerapan Presidential Threshold di dalam pemilu serentak masih dianggap sebagai ketentuan yang relevan. Beberapa pemerhati hukum menilai bahwa dengan diberlakukannya pemilu secara serentak, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatur mengenai Presidential Threshold secara otomatis harus dinyatakan tidak berlaku, karena penerapan Presidential Threshold dalam pemilu serentak adalah sesuatu yang tidak relevan.
Pengaturan tentang Presidential Threshold yang tetap dipertahankan dalam pemilu serentak di Tahun 2019 yang ditetapkan melalui UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, pada akhirnya menjadi diskursus tersendiri yang menimbulkan ruang pro dan dimensi kontra di kalangan pakar hukum tata Negara, para anggota partai politik dan masyarakat Indonesia secara umum.
B. Isu Hukum (Legal Issue) Penetapan Presidential Threshold sebesar 20% di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dinilai meninggalkan makna filosofis pelaksanaan Pemilu Serentak dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (inkonstitusionalitas).
C. Dasar Hukum (Legal Basis) 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. 3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
D. Analisa Hukum (Legal Analysis) 1. Mengenai Makna Filosofis Pemilu Serentak dan Presidential Threshold Pemilu serentak (concurrent elections) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sistem pemilu yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu secara bersamaan. Sistem pemilu serentak sudah diterapkan di banyak negara demokrasi. Di Indonesia sendiri, perjalanan penetapan pelaksanaan pemilu serentak mendapatkan legal standing ketika Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian yang pada intinya adalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden beserta Pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD dilaksanakan secara serentak untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah mendudukkan bahwa dari sudut pandang original intent dari penyusun perubahan UUD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. Hal demikian sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu tarikan nafas, yakni, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Pada putusan yang sama, selain memutuskan bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden beserta Pemilihan Legislatif dilaksanakan secara serentak, Mahkamah juga menyatakan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 masih tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat artinya bagi Mahkamah Konstitusi penerapan Presidential Threshold di dalam pemilu serentak masih dianggap sebagai ketentuan yang relevan, dengan alasan bahwa ketentuan Presditential Threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy pembuat undang-undang. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu landasan pertimbangan yang menyebabkan penetapan Presditential Threshold 20% di dalam UU Pemilu terbaru tetap diberlakukan.
2. Inkonstitusionalitas Presidential Threshold 20% dalam Pemilu Serentak Pemilihan umum yang dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD sebagaimana dinyatakan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 merupakan agenda rutin lima tahunan. Rutinitas itu guna memberi ruang atau kesempatan kepada rakyat untuk memilih para pemimpin negara dan para penguasa negara setiap lima tahun sekali. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden beserta Pemilihan Legislatif yang dahulu terpisah kini akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019. Pemilu serentak ini dipertegas dengan disahkannya UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur seluruh komponen dan mekanisme pemilu serentak, termasuk Presidential Threshold. Dalam pasal 222 diatur bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dva puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25% (dua puluh lima persen)\ dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pengaturan mengenai Presidential Threshold 20% tersebut menimbulkan polemik di masyarakat. Secara ekstrem, terdapat pendapat yang mengatakan bahwa pasal tersebut berpotensi menghasilkan pemerintahan yang tidak konstitusional, tersandera kepentingan politik dan pada akhirnya tidak akan mampu menyelenggarakan negara dengan baik. Presidential Threshold 20% pada pemilu serentak dinilai sebagai sesuatu yang tidak relevan dan tidak logis karena bagaimana kita mengetahui adanya presentase tertentu yang didapatkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, jika pemilihan anggota DPR dan DPRD belum dilaksanakan?
Dari sudut pandang konstitusi, pengaturan adanya Presidential Threshold 20% pada pasal 222 telah menyimpang dari ketentuan UUD 1945 pasal 6A ayat (2). Pasal ini mengatur bahwa “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu umum”. Hal ini berarti, jika partai politik telah dinyatakan lolos validasi sebagai peserta pemilu (termasuk partai baru), maka secara otomatis partai tersebut memiliki hak untuk mengusulkan calon Presiden dan wakil Presiden. Namun, kehadiran Presidential Threshold 20% pada Pasal 222 UU Pemilu menghalangi hak partai politik. Tak hanya inkonstitusional, penerapan Presidential Threshold 20% telah meninggalkan makna filosofis pemilu serentak dan menghadirkan ruang diskriminasi antar partai politik yang mestinya diperlakukan sama.
E. Kesimpulan (Conclusion) Penyelenggaraan pemilu serentak memberikan implikasi terhadap Presidential Threshold 20% yang menunjukkan bahwa penerapannya menjadi tidak relevan karena dengan pemilihan umum serentak tidak memungkinkan untuk pengusungan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden didasarkan pada jumlah kursi partai politik di DPR/jumlah perolehan suara sah nasional partai politik pada pemilihan umum dan bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945.
DAFTAR PUSTAKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU No.12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. BUKU Erfandi. 2014. Parliamentary Threshould dan Ham dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Malang: Setara Press. Soehino. 2010. Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia (Edisi Pertama). Yogyakarta: BPFE. JURNAL Benny Geys. 2006. Explaining Voter Turnout: A Review of Aggregate-Level Research, dalam Electoral Studies. INTERNET Nabila Tashandra. 2017. Lucunya Drama Rapat Pengesahan UU Pemilu. http://nasional.kompas.com/read/2017/07/22/05400051/lucunya-drama-rapat-paripurna pen gesahan-uu-pemilu-
ความคิดเห็น