top of page

Polemik Kebijakan Pengungkapan Data Pasien Covid-19 : Antara Hak Perlindungan Data Pasien Dan Upaya

oleh :

Gusnidar Suryam dan Atiqah Fadhilah Zakaria

Universitas Hasanuddin

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang

Saat ini dunia sedang berada dalam mode darurat terkait merebaknya Corona Virus Disease yang tersebar sejak tahun 2019 akhir atau yang saat ini disebut dengan Covid-19. Sejak bulan Maret 2020, organisasi kesehatan dunia atau WHO memberikan pernyataan bahwa saat ini Covid-19 adalah sebuah pandemi. Virus Covid-19 merupakan zoonosis, sehingga terdapat kemungkinkan virus berasal dari hewan dan ditularkan ke manusia. Pada Covid-19 belum diketahui dengan pasti proses penularan dari hewan ke manusia, tetapi data filogenetik memungkinkan Covid-19 juga merupakan zoonosis. Perkembangan data selanjutnya menunjukkan penularan antar manusia (human to human), yaitu diprediksi melalui droplet dan kontak dengan virus yang dikeluarkan dalam droplet. Hal ini sesuai dengan kejadian penularan kepada petugas kesehatan yang merawat pasien Covid-19, disertai bukti lain penularan di luar China dari seorang yang datang dari Kota Shanghai, China ke Jerman dan diiringi penemuan hasil positif pada orang yang ditemui dalam kantor.1 Covid-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian.10 Tingkat mortalitas Covid-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.2 Sejauh ini, memang belum ada sains atau hasil penelitian ilmiah yang bisa memprediksi secara akurat kapan puncak pandemi Covid-19, yang kemudian bisa menganalisis tren penurunan dan penanda akhir dari pandemi. Karena itu, masyarakat harus terlibat dalam pencegahan melalui peningkatan solidaritas sosial dan kerja sama seperti gotong royong atau pun sabilulungan. Selain itu, negara pun, dalam hal ini pemerintah, memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam penanganan Covid-19. Di antaranya keterbatasan sumber daya tenaga dan sarana kesehatan, dan juga keterbatasan sumber daya finasial. Kita tahu bahwa memilih kebijakan PSBB bukan karantina wilayah, selain pertimbangan filosofis dan politis seperti stabilitas keamanan dan pertahanan negara, juga karena pertimbangan kemampuan finansial. Jika PSBB hanya himbauan moral perlu adanya Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net), maka karantina wilayah menurut UU No, 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ada himbauan normatif yang mewajibkan negara untuk menyediakan kebutuhan dasar manusia selama karantina wilayah diberlakukan, termasuk ternak-ternak peliharaannya. Di atas semua itu, bentuk penanganan Covid-19 dalam masa ketidakpastian adalah pencegahan. Bentuk penanganan ini senantiasa melibatkan semua lapisan masyarakat. Dan, bentuk penanganan yang mengutamakan tindakan memutus mata rantai pergerakan penularan Covid-19.

Di tengah pelaksanaan penanggulangan dan pencegahan wabah Covid-19 terdapat pro kontra berkenaan dengan pembukaan transparansi data pasien penderita Covid-19 menjadi polemic bagi pembuat kebijakan dan masyarakat . Bagi pihak yang mendukung keterbukaan data pribadi pasien penderita Covid-19 secara komprehensif beralasan bahwa Tindakan tersebut dapat membantu dalam mengantisipasi penularan secara terorganisasi. Namun penolakan juga datang dari kalangan yang kontra dengan upaya ini, dikarenakan hal tersebut berpotensi menimbulkan diskriminasi dan persekusi sepihak dari masyarakat terhadap pasien serta keluarga dan orang terdekat nya. Sebagaimana peristiwa yang terjadi pada pasien 01 dan 02 dimana data pribadi keduanya disebarkan oleh oknum tak bertanggungjawab meliputi domisili , foto ,anggota keluarga , pekerjaan hingga lokasi kerja yang bersangkutan. 4 Pasal 1 angka 22 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, menyebut bahwa, “Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.”. Lanjut pada pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi (Pasal 1 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran), berdasarkan definisi ini maka pasien memiliki hubungan yang berkaitan erat dengan dokter. Hubungan antara dokter pasien, bila kita melihat hubungan ini dari perspektif kedokteran maka hubungan dokter pasien adalah hubungan medik, namun selain hubungan medik dalam hubungan dokter pasien juga dikenal hubungan hukum bila dilihat dari sudut pandang hukum. Hubungan-hubungan ini tidak jarang berbenturan, karena bila kita melihat dari hubungan hukum maka hak dan kewajiban yang akan mendominasi sedangkan bila dilihat dari hubungan medik maka peran dokter yang lebih dominan. Bila terjadi benturan antara dua macam hubungan ini maka akan terjadi masalah, maka dari itu penting untuk adanya pengaturan yang baik dalam hubungan dokter pasien, baik dari segi hukum maupun segi medik. Dalam hubungan ini baik dokter maupun pasien memiliki hak dan kewajiban masing-masing untuk mencapai hubungan yang harmonis maka perlu menyadari hak dan kewajiban masing-masing, sehingga dapat menghormati hak orang lain. Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Berkaitan dengan hak pasien, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pasien dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.

Perlindungan privasi berhubungan erat dengan pemenuhan hak data pribadi. Hubungan mengenai privasi dan perlindungan data pribadi ditegaskan oleh Allan Westin. Ia mendefinisikan privasi sebagai hak individu, grup atau lembaga untuk menentukan apakah informasi tentang mereka akan dikomunikasikan atau tidak kepada pihak lain. Definisi yang dikemukakan oleh Westin disebut dengan information privacy

karena menyangkut informasi pribadi. Di bawah pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945, perlindungan data pribadi di Indonesia tersebar di berbagai undang-undang. Kemudian, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bentuk dari perlindungan privasi yang diamanatkan langsung oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia yang mengandung penghormatan atas nilai-nilai HAM dan nilai-nilai persamaan serta penghargaan atas hak perseorangan sehingga perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memberikan keamanan privasi dan data pribadi dan menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.

2. Rumusan Masalah 1. Apa dasar hukum hak perlindungan data diri pasien Covid-19? 2. Bagaimana hukum memandang kebijakan pengungkapan data pasien Covid-19 dari segi upaya percepatan penanganan pandemi Covid-19 ?

B. Pembahasan 1. Dasar Hukum Hak Perlindungan Data Diri Pasien Covid-19

Angka positif virus Covid-19 di Indonesia saat ini terus bertambah setiap harinya. Terhitung sejak pasien pertama dilaporkan di Indonesia pada awal Maret 2020 hingga saat ini Agustus 2020, pasien yang terdampak virus Covid-19 adalah sebanyak 120.000+ orang. 79.000+ diantaranya telah dinyatakan sembuh dan sekitar 5.600+ orang meninggal dunia. Dari ratusan ribu pasien di Indonesia yang terdampak virus Covid-19, semuanya memiliki hak yang sama sebagai pasien salah satunya hak perlindungan khususnya perlindungan data diri sebagai pasien.8 Privasi dan data pribadi menjadi sebuah hal yang penting karena pengguna dalam jaringan tidak akan melakukan sebuah transaksi digital apabila merasa keamanan akan privasi dan data pribadinya terancam. Salah satu perlindungan privasi dan data pribadi tersebut berkenaan bagaimana data pribadi tersebut akan diproses termasuk data sensitif dari pengguna yang apabila disebarkan ke pihak yang tidak bertanggung jawab akan berpotensi menimbulkan kerugian finansial, bahkan mengancam keamanan dan keselamatan pemiliknya.

Sebagai sebuah hak yang melekat pada diri pribadi, perdebatan mengenai pentingnya perlindungan terhadap hak atas privasi seseorang mula-mula mengemukakan di dalam putusan-putusan pengadilan di Inggris dan kemudian di amerika serikat. Hingga kemudian Samuel Warren dan louis Brandeis menuliskan konsepsi hukum hak atas privasi dalam Harvard Law Review Vol. IV No. 5, 15 Desember 1890. Tulisan dengan judul dengan “The Right to Privacy” inilah yang pertama kali mengonseptualisasi hak atas privasi sebagai sebuah hak hukum. Tulisan ini sendiri muncul ketika koran-koran mulai mencetak gambar orang untuk pertama kalinya. Dalam tulisan tersebut Warren dan Brandeis secara sederhana mendefinisikan hak atas privasi sebagai “hak untuk dibiarkan sendiri” (the right to be let alone). Definisi mereka didasarkan pada dua asas: (i) kehormatan pribadi; dan (ii) nilai-nilai seperti martabat individu, otonomi dan kemandirian pribadi. Gagasan ini kemudian mendapatkan justifikasi dan pengakuan dengan adanya beberapa gugatan hukum yang

kemudian memberikan pembenaran tentang perlunya perlindungan hak atas privasi, terutama dengan sandaran alasan moralitas. Perlindungan data sendiri secara umum pengertiannya mengacu pada praktik, perlindungan, dan aturan mengikat yang diberlakukan untuk melindungi informasi pribadi dan memastikan bahwa subjek data tetap mengendalikan informasinya. Singkatnya, pemilik data harus dapat memutuskan apakah ingin membagikan beberapa informasi atau tidak, siapa yang memiliki akses, untuk berapa lama, untuk alasan apa, dan dapat memodifikasi beberapa informasi ini, dll. Sedangkan data pribadi jika mengacu pada EU GDPR (General Data Protection Regulation) adalah: “Setiap informasi terkait seseorang (‘subjek data’) yang dapat mengenali atau dapat dikenali; mengenali secara langsung atau tidak lansung seseorang tersebut, terutama dengan merujuk pada sebuah tanda pengenal seperti nama, nomor identitas, data lokasi, data pengenal daring atau pada satu faktor atau lebih tentang identitas fisik, psikologis, genetik, mental, ekonomi, atau sosial orang tersebut”. Data pribadi umumnya dibedakan menjadi dua kategori: Data Pribadi Bersifat Umum, seperti: Nama, Alamat, Alamat e‐mail, Data lokasi, IP address, web cookie; dan Data Pribadi Spesifik (Sensitif), seperti: ras, etnis, agama, pandangan politik, orientasi seksual, genetik, biometrik, kondisi mental dan kejiwaan, catatan kriminal. Salah satu lingkungan yang sangat menjunjung hak perlindungan data diri yaitu dunia medis. Sebagaimana yang dikemukakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, salah satu fungsi rumah sakit adalah menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Setiap tindakan medis yang akan diberikan kepada pasien haruslah mendapat ijin dan persetujuan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kegiatan pencatatan, perekaman yang kemudian di dokumentasikan dalam satu file khusus merupakan bentuk fisik dari bukti yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum apabila terjadi masalah dikemudian hari terkait ketidaksesuaian yang dialami oleh pasien. Ragam bentuk catatan tindakan medis yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan itulah yang disebut dengan rekam medis.

Rekam medis diisi oleh tenaga kesehatan yang melakukan perawatan serta tindakan medis terhadap pasien sesegera mungkin agar tidak menjadi lupa, dan sesuai dengan keadaan pasien yang sebenarnya. Isi dalam rekam medis adalah milik pasien dan merupakan rahasia yang harus dijaga. Semua petugas kesehatan wajib menyimpan rahasia kedokteran, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Permenkes Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran pada Pasal 4 disebutkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia kedokteran. Jaminan terhadap kepastian hukum dalam memberikan perlindungan kepada pasien dapat mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Fakta yang terjadi, seringkali data pasien satu dengan lainnya terbuka kerahasiaannya baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, misalnya saat pasien diperiksa, riwayat kesehatan pasien yang diungkapkan oleh dokter maupun tenaga kesehatan yang mendampingi, terdengar oleh

pasien lain ataupun keluarga yang tidak berhak mengetahuinya, terutama saat bersama- sama menunggu giliran untuk pemeriksaan dokter karena tempatnya yang sangat berdekatan.

Pada dasarnya, dokter merupakan salah satu profesi yang memiliki tanggung jawab serta etika dalam melayani masyarakat. Dalam hal ini, seorang dokter wajib untuk merahasiakan segala bentuk hal mengenai pasiennya. Pengaturan ini terdapat di Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), tepatnya pada pasal 16 tentang Rahasia Jabatan, yaitu “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.”. Adapun cakupan pasal tersebut ialah : 1) Seorang dokter wajib merahasiakan apa yang dia ketahui tentang pasien yang ia peroleh dari diri pasien tersebut dari suatu hubungan dokter-pasien sesuai ketentuan perundang-undangan. 2) Seorang dokter tidak boleh memberikan pernyataaan tentang diagnosis dan/atau pengobatan yang terkait diagnosis pasien kepada pihak ketiga atau kepada masyarakat luas tanpa persetujuan pasien. 3) Seorang dokter tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk merugikan pasien, keluarga atau kerabat dekatnya dengan membukanya kepada pihak ketiga atau yang tidak berkaitan.

4) Dalam hal terdapat dilema moral atau etis akan dibuka atau dipertahankannya rahasia pasien, setiap dokter wajib berkonsultasi dengan mitra bestari dan/atau organisasi profesinya terhadap pilihan keputusan etis yang akan diambilnya.

5) Setiap dokter wajib hati-hati dan mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi- budaya dan legal terkait dengan pembukaan rahasia pasiennya yang

diduga/mengalami gangguan jiwa,penyakit infeksi menular seksual dan penyakit lain yang menimbulkan stigmatisasi masyarakat. 6) Setiap dokter pemeriksa kesehatan untuk kepentingan hukum dan kemasyarakatan wajib menyampaikan hasil pemeriksaaan kepada pihak

berwewenang yang memintanya secara tertulis sesuai ketentuan perundang- undangan.

7) Seorang dokter dapat membuka rahasia medis seorang pasien untuk kepentingan pengobatan pasien tersebut, perintah undang-undang, permintaan pengadilan, untuk melindungi keselamatan dan kehidupan masyarakat setelah berkonsultasi dengan organisasi profesi, sepengetahuan/ijin pasien dan dalam dugaan perkara hukum pihak pasien telah secara sukarela menjelaskan sendiri diagnosis/pengobatan penyakitnya di media massa/elektronik/internet. 8) Seorang dokter wajib menyadari bahwa membuka rahasia jabatan dokter dapat membawa konsekuensi etik, disiplin dan hukum.14 Penjelasan pasalnya yaitu, “Dokter wajib menjaga kerahasiaan yang terbit dari hubungan dokter-pasiennya karena hal itu komponen fundamental dan keberadaan pasien. Kewajiban ini dilakukan dalam rangka melindungi hak-hak asasi pasien sebagai individu bermartabat. Hal ini cerminan dari aliran mutlak (absolut) dalam kewajiban simpan rahasia kedokteran. Namun dalam kehidupan supermodern saat ini terdapat juga aliran relatif..”15 Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 36 tahun 2012 merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 48 ayat 1 UU No. 29 tahun 2004. Permenkes ini mengatur mengenai rahasia kedokteran. a. Ruang lingkup Rahasia Kedokteran Rahasia Kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya pengertian ini diatur

dalam Pasal 1 angka 1, yang kemudian diatur dalam Pasal 3 ayat (1) mengenai ruang lingkupnya, yang menyatakan bahwa: Rahasia kedokteran mencakup data dan informasi mengenai: a) Identitas pasien; b) Kesehatan pasien meliputi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan kedokteran; dan c) Hal lain yang berkenaan dengan pasien. b. Kewajiban Menyimpan Rahasia Kedokteran Dalam permenkes ini diatur pihak mana sajakah yang mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahsia kedokteran, hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa : Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia kedokteran, pihak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi : dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan, tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan, badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan dan mahasiswa/ siswa yang bertugas dalam pemeriksaan pengobatan, perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan kesehatan Mengenai jangka waktu mengenai kewajiban menyimpan rahasi kedokteran diatur di dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa: Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya, walaupun pasien telah meninggal dunia.16 Selain aturan tersebut, masih banyak lagi aturan-aturan lain yang memuat mengenai hak tiap pasien untuk mendaptkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita berserta data-data medisnya, seperti pada UU 44/2009, UU 36/2009, juga UU 14/2008. Pasal 32 huruf (i) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit mengemukakan bahwa, “i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang

diderita termasuk data-data medisnya.”. Juga pada pasal 38 ayat (1) diterangkan bahwa, “Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.”. Pasal 57 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan diatur bahwa: (1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan (2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a) Perintah undang-undang b) Perintah pengadilan c) Izin yang bersangkutan d) Kepentingan masyarakat; atau e) Kepentingan orang tersebut

Pada pasal 17 huruf h angka (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengenai informasi yang dikecualikan, tertera bahwa riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang; termasuk dalam informasi yang dikecualikan apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik karena dapat mengungkap rahasia pribadi. Disamping itu, rumah sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi pasien kepada publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran. 17 Hak-hak pasien ini juga berlaku bagi pasien Covid-19 tanpa adanya perbedaan, karena disaat bersamaan terbukanya informasi mengenai pasien ini dapat menjadi penyebab timbulnya diskriminasi dan pengucilan sosial kepada pasien oleh sejumlah kelompok. Oleh karena itu, sesuai pada pasal 29 ayat (1) huruf m UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit bahwa, “Setiap rumah sakit berkewajiban : Menghormati dan melindungi hak-hak pasien;”. Jika pihak rumah sakit tidak melindungi identitas pasiennya yang positif terdampak Covid-19 dimana dalam hal ini merupakan kewajibannya, maka rumah sakit dapat dikenai sanksi berupa sanksi administratif sesuai pada pasal 29 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009 tersebut.

Lahirnya Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah wujud reformasi penyelenggaraan pemerintahan yang perlu disambut dengan optimisme masyarakat akan itikad baik pemerintah untuk menegaskan adanya jaminan transparansi informasi publik. Bagi badan publik yang melanggar aturan terkait penyebaran data diri seseorang maka berlaku pasal 54 ayat (1) UU Keterbukaan Informasi Pribadi tersebut yaitu, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Sampai saat ini semenjak bulan Maret 2020, dilaporkan bahwa total jumlah kasus infeksi virus corona di Indonesia hingga pada Kamis 30 Juli 2020, secara nasional kasus dikonfirmasi sebanyak 106.336 (+ 1.904) kasus, 64.292 (+ 2.154) diantaranya sembuh dan 5.058 (+ 83) orang meninggal dunia, 53.723 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan 30.046 Pasien Dalam Pengawasan (PDP), menurut laporan data dari Percepatan Penanganan Covid-19 melalui laman resmi sosial media BNPB Indonesia20 .

2. Kebijakan Pengungkapan Data Pasien Covid-19 Dari Segi Upaya Percepatan Penanganan Pandemi Covid-19 Setiap pasien berhak untuk mendapatkan perlindungan khususnya perlindungan untuk data dirinya sebagai pasien agar tidak disebarluaskan. Namun pada masa pandemi Covid-19 saat ini hak itu kemudian menuai kontroversi dari berbagai pihak terkait kepentingan siapakah yang harus diutamakan apakah pasien ataukah khalayak

umum. Jika menelisik tindakan pemerintah pada awal munculnya pasien positif Covid- 19 tepatnya di Depok, pemerintah setempat ‘dikabarkan’ menyebarluaskan alamat dari

pasien tersebut dimana alamat tersebut termasuk data privasi yang wajib dilindungi dalam hukum. Hal itu kemudian mengundang kritikan di media sosial dikarenakan hal

tersebut berpotensi menimbulkan diskriminasi dan persekusi sepihak dari masyarakat terhadap pasien serta keluarga dan orang terdekat nya. 21 Setelah menuai kritik karena dianggap menyebarkan data pribadi dalam hal ini alamat, beberapa waktu kemudian pemerintah pusat menekankan untuk tidak menyebarluaskan data pribadi pasien Covid-19. Namun pada bulan Maret 2020, terdapat warga negara yang malah mengajukan permohonan uji materi sejumlah Undang-Undang yang berkaitan dengan kerahasiaan data pasien coronavirus disease (Covid-19) ke Mahkamah Konstitusi. Pihak pemohon tersebut menyuarakan kepada pemerintah untuk membuka informasi pasien atau suspect Covid-19. Hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi penyebaran Covid-19 jika publik sejak awal mengetahui informasi pasien atau suspect Covid-19. 22

Mengenai kapan data pribadi dalam hal ini pasien dapat dibuka atau disebarkan diatur dalam : Pasal 57 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, berbunyi : “Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan

hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang- undangan.”

Pasal 48 ayat 2 UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, berbunyi: “Rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan, pemenuhan permintaan aparatur penegak hukum bagi kepentingan penegakan hukum, permintaan Penerima Pelayanan Kesehatan sendiri, atau pemenuhan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Pasal 73 ayat 2 UU 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, berbunyi: “Rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan, pemenuhan permintaan aparatur penegak hukum bagai kepentingan penegakan hukum,

permintaan Penerima Pelayanan Kesehatan sendiri, atau pemenuhan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Pasal 38 ayat 2 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, berbunyi: “Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan dasar hukum diatas pada intinya data pasien atau rahasia medis dapat dibuka hanya jika untuk kepentingan kesehatan pasien, berdasarkan undang-undang atau berdasarkan permintaan aparatur penegak hukum. Jika menelisik aturan yang kurang lebih mengatur perlindungan kerahasiaan medis ini, dapat ditemukan masih ada beberapa celah yang kemudian membuka peluang untuk dibukanya rahasia medis pasien dalam hal ini identitas pasien, antara lain : 1). Disharmonisasi ketentuan Pasal 57 ayat (1) dengan Pasal 52 UU Kesehatan. Dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2) dinyatakan bahwa sifat kerahasiaan data pribadi ini tidak berlaku terhadap sejumlah hal diantaranya: perintah Undang-Undang, perintah pengadilan , izin yang bersangkutan, kepentingan masyarakat; dan kepentingan orang tersebut. Benturan norma dalam Undang-Undang Kesehatan ini bisa dijadikan celah hukum bagi pihak yang menginginkan pembukaan informasi pasien Covid-19 ke publik dengan dalih argument yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 sudah mengancam kepentingan masyarakat, mengancam kesehatan masyarakat, dan penularannya sudah sedemikian mengkhawatirkan.

2). Dihapusnya Delik Pidana Dalam UU Praktek Kedokteran oleh Putusan MK Penghapusan delik pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 79 C UU Praktek Kedokteran terhadap Dokter yang tidak menjalankan kewajiban. Pasal 51 c terdapat kewajiban dokter untuk merahasiakan informasi mengenai Kesehatan pasien hingga si pasien meninggal. Dengan adanya penghapusan kebijakan kriminalisasi terhadap dokter , bilamana terjadi kelalaian pembukaan rekam medik oleh oknum dokter selaku penyelenggara jasa Kesehatan akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan

penindakan, karena basis hukum yang bersifat lex specialis telah dicabut. Dengan tidak adanya memiliki aturan yang bersifat spesifik dan jelas, potensi penyalahgunaan transfer informasi data rekam medis menjadi tidak terkendali dan meningkatkan kemungkinan kebocoran informasi serta aksesibilitas orang yang tidak berwenang24 Perlu ditekankan Indonesia telah memasuki fase berbahaya dengan corona bulan Agustus 2020 angka psoitif Covid-19 telah mencapai 120.000+, pemerintah membutuhkan kebijakan yang tepat dalam merespon bahaya tersebut dan kebijakan ini menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan. Hal ini kemudian menjadi alasan piihak pro terkait urgensinya data diri pasien Covid-19 dibuka. Diatas semua itu, mereka beranggapan bahwa selain hak perlindungan data diri pasien, negara juga harusnya mempertimbangkan hak masyarakat yang nonreaktif agar dapat merasa aman dan dapat mencegah diri mereka untuk tidak menjadi sasaran penyebaran. Namun pertanyaan apakah pandemi Covid-19 saat ini dapat dimasukkan kedalam prasyarat data diri pasien dapat di buka, maka jawabannya tegas dari pemerintah adalah tidak. Pemerintah Indonesia hingga Juli 2020 tidak memperkenankan untuk membuka data diri pasien Covid-19 hal ini telah diatur secara spesifik dalam Surat Edaran Nomor: 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Informasi Publik Dalam Masa Darurat Kesehatan Masyarakat akibat Covid-19. Surat Edaran ini mengatur Batasan data yang boleh layanan informasi terkait Covid-19 yang meliputi : jenis penyakit, persebaran, area episentrum, serta pencegahan nya. Penyampaian informasi dilakukan secara ketat dan terbatas dengan tetap melindungi data pribadi Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Pasien Positif dan orang yang dinyatakan sembuh.

C. Penutup 1. Kesimpulan

Kebijakan untuk membuka data diri pasien Covid-19 mengundang pro kontra dari berbagai kalangan. Dari kalangan pro menyatakan dengan tegas bahwa setiap pasien memiliki hak untuk perlindungan data diri sebagai pasien sebagai rahasia medis diatur dalam hukum kesehatan mulai dari UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit kemudian Permenkes Republik Indonesia Nomor 36 Tahun

penindakan, karena basis hukum yang bersifat lex specialis telah dicabut. Dengan tidak adanya memiliki aturan yang bersifat spesifik dan jelas, potensi penyalahgunaan transfer informasi data rekam medis menjadi tidak terkendali dan meningkatkan kemungkinan kebocoran informasi serta aksesibilitas orang yang tidak berwenang24 Perlu ditekankan Indonesia telah memasuki fase berbahaya dengan corona bulan Agustus 2020 angka psoitif Covid-19 telah mencapai 120.000+, pemerintah membutuhkan kebijakan yang tepat dalam merespon bahaya tersebut dan kebijakan ini menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan. Hal ini kemudian menjadi alasan piihak pro terkait urgensinya data diri pasien Covid-19 dibuka. Diatas semua itu, mereka beranggapan bahwa selain hak perlindungan data diri pasien, negara juga harusnya mempertimbangkan hak masyarakat yang nonreaktif agar dapat merasa aman dan dapat mencegah diri mereka untuk tidak menjadi sasaran penyebaran. Namun pertanyaan apakah pandemi Covid-19 saat ini dapat dimasukkan kedalam prasyarat data diri pasien dapat di buka, maka jawabannya tegas dari pemerintah adalah tidak. Pemerintah Indonesia hingga Juli 2020 tidak memperkenankan untuk membuka data diri pasien Covid-19 hal ini telah diatur secara spesifik dalam Surat Edaran Nomor: 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Informasi Publik Dalam Masa Darurat Kesehatan Masyarakat akibat Covid-19. Surat Edaran ini mengatur Batasan data yang boleh layanan informasi terkait Covid-19 yang meliputi : jenis penyakit, persebaran, area episentrum, serta pencegahan nya. Penyampaian informasi dilakukan secara ketat dan terbatas dengan tetap melindungi data pribadi Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Pasien Positif dan orang yang dinyatakan sembuh.

C. Penutup 1. Kesimpulan

Kebijakan untuk membuka data diri pasien Covid-19 mengundang pro kontra dari berbagai kalangan. Dari kalangan pro menyatakan dengan tegas bahwa setiap pasien memiliki hak untuk perlindungan data diri sebagai pasien sebagai rahasia medis diatur dalam hukum kesehatan mulai dari UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit kemudian Permenkes Republik Indonesia Nomor 36 Tahun

2012 Tentang Rahasia Kedokteran, dan kemudian diperjelas lagi dalam Undang- Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa data diri

pasien merupakan informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik. Meskipun demikian, pandemi Covid-19 menimbulkan dilema mengingat angka penyebarannya hingga Agustus 2020 terus meningkat dan telah mencapai 120.000+ sehingga mendorong pemerintah untuk lebih responsif sebagai langkah untuk mencegah penyebarannya, salah satu kebijakan yang didesak oleh beberapa pihak yaitu permintaan untuk dibukanya data diri pasien positif Covid-19 yang bertujuan untuk mengurangi potensi penyebaran Covid-19 jika publik sejak awal mengetahui informasi pasien atau suspect Covid-19. Namun pemerintah telah menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak memperkenankan untuk membuka data diri pasien Covid-19 hal ini telah diatur secara spesifik dalam Surat Edaran Nomor: 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Informasi Publik Dalam Masa Darurat Kesehatan Masyarakat akibat Covid-19. Surat Edaran ini mengatur Batasan data yang boleh layanan informasi terkait Covid-19 yang meliputi : jenis penyakit, persebaran, area episentrum, serta pencegahan nya. Penyampaian informasi dilakukan secara ketat dan terbatas dengan tetap melindungi data pribadi Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Pasien Positif dan orang yang dinyatakan sembuh. Walaupun telah dipertegas, peraturan terkait kerahasiaan medis tersebut belum optimal karena masih memberikan celah. Hal ini disebabkan adanya pertentangan norma dalam UU Kesehatan antara Pasal 71 dan Pasal 72 yang menimbulkan ketidakpastian secara hukum dan dihapuskan nya sanksi pidana bagi oknum dokter yang melakukan pelanggaran atas hak rekam medis.

2. Saran

Pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa membuka data diri pasien bertentangan dengan hukum khususnya pada dunia medis. Namun dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini memang dibutuhkan beberapa langkah yang lebih responsif dan strategis sehingga wajar saja jika beberapa pihak menganggap membuka data diri pasien Covid-19 ini dapat menjadi solusi. Dalam hal ini sebaiknya pemerintah harus memperhatikan kembali pertentangan norma dalam UU kesehatan agar tercapai kepastian hukum tentang pelanggaran atas hak rekam medis. Selain itu Rancangan Undang-Undang tentang perlindungan data Pribadi seyogyanya lekas disahkan agar Indonesia mempunyai regulasi payung utama yang digunakan sebagai jembatan untuk menangani pengaturan parsial data pribadi yang tersebar dalam sejumlah regulasi.

D. Daftar Pustaka

Handayani, Diah, et.al.. (2020). Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia Volume 40. 2. Istiana Heriani. 2018. Hak Atas Informasi Publik Dan Hak Atas Rahasia Medis: Problem Hak Asasi Manusia Dalam Pelayanan Kesehatan. Jurnal Hukum Samudra Keadilan.Volume 13 No.1. Kode Etik Kedokteran Indonesia

Koran Online. 10 Agustus 2020.https://palu.tribunnews.com/2020/08/10/update- virus-corona-di-indonesia-per-senin-10-agustus-2020-kasus-positif-bertambah-1687-

orang.

Koran Online. 25 Maret 2020. https://www.jawapos.com/nasional/25/03/2020/data- pasien-korona-ditutupi-advokat-ajukan-uji-materi-ke-mk/

Koran Online. 30 Juli 2020. https://konfirmasitimes.com/2020/07/30/update-virus- corona-30juliindonesia/.

Mohammad Hossein Yarmohammadiana , Ahmad Reza Raeisi*b, Nahid Tavakolic, Leila Ghaderi Nansad. 2010. Medical record information disclosure laws and policies among selected countries; a comparative study. Journal of Research in Medical Science. Volume 15 No. (3): Mufti Muslim, et.al.. 2020. Analisis Pengukuran Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah: Kekuatan Bagi Penanganan Covid-19 Berbasis Masyarakat. Digital Library UIN Sunan Gunung Djati. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Bandung. Rahandi Rizi. 2020. Batasan Hukum Keterbukaan Data Medis Pasien Pengidap Covid-19: Perlindungan Privasi VS Transparansi Informasi Publik. Law, Development & Justice Review Journa. Volume 3.1. Rosadi, Sinta dewi dan Garry Gumelar Pratama. (2018). Perlindungan Privasi dan Data Pribadi Dalam Era Ekonomi Digital di Indonesia. Veritas et justitia Volume 4. 1. Saraya, Sitta. (2019). Tindak Pidana Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia, Sebuah Kajian Perbandingan Sistem Pemidanaan di Negara Asing Thailand dan Jepang. Jurnal Ius Constituendum Volume 4. 2.

Siringoringo, Valeri M.P., et.al.. (2017). Pengaturan Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien Dalam Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kesehatan di Indonesia. Diponegoro Law Journal Volume 6. 2. Susilo, Adityo, et.al.. (2020). Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Volume 7. 1. Susilowati, Indah, et.al.. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Privasi dan Data Medis Pasien di Rumah Sakit X Surabaya. Jurnal Wiyata Volume 5. 1. Wahyudi Djafar. 2019. Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi dan Kebutuhan Pembaruan. Makalah. Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

64 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page