top of page

Perkembangan Hukum Terhadap Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan di Kota Makassar

Bahwa Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan Di Kota Makassar harus  berdasarkan Asas Pancasila dan hal ini tidak terlepas dari Hak Asasi Manusia. Bahwa keberadaan organisasi kemasyarakatan yang berdasarkan asas Pancasila harus pula berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku. Pada era reformasi saat ini menunjukkan dinamika perubahan masyarakat yang cukup meningkat sehingga yang menyebabkan pertumbuhan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Akibatnya muncul beberapa organisasi kemasyarakatan yang berasas agama dan kesukuan. Secara yuridis dalam kaitan dengan hukum keberadaan organisasi kemasyarakatan tersebut telah diatur dalam suatu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dimana Undang-undang tersebut mewajibkan menggunakan Asas Pancasila sebagai Asas tunggal dan sampai sekarang masih berlaku.

Yang menjadi permasalahannya untuk diketahui adalah Apakah keberadaan organisasi-organisasi kemasyarakatan di Makassar sebagai proses pendemokratisasian yang berasaskan Pancasila sebagai asas tunggal tersebut melanggar hak asasi manusia atau tidak. Bagaimana konstitusionalitas keberadaan organisasi kemasyarakatan yang tidak berasaskan asas tunggal Pancasila terhadap terhadap UU Ormas. Berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 yaitu “ditetapkan dengan undang-undang” tersebut itu menjadi dasar yang absah bagi keberadaan kewajiban dan tanggung jawab untuk membatasi hak dan kebebasan sesuai dengan semangat demokrasi dan prinsip negara hukum. Keberadaan organisasi kemasyarakatan di Makassar yang tidak berasaskan tunggal Pancasila itu apabila bertentangan dengan Pancasila maka hendaknya menjadi perhatian Pemerintah Kota Makassar.

Eksistensi organisasi kemasyarakatan di Kota Makassar

Bahwa dalam situasi sekarang ini kebebasan yang diperoleh dengan mendadak cenderung untuk mengarah ke disintegrasi bangsa. Hal ini terjadi karena di berbagai daerah, kelompok, etnis, golongan agama atau partai politik mengejar kepentingan sendiri-sendiri. Mereka terlalu mengabaikan dasar bersama yang melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara.Salah satu bentuknya adalah keresahan masyarakat atas ulah salah satu ormas yang seringkali berbuat “kekerasan” dan memaksakan kehendak dengan fisik merusak tempat-tempat yang dianggap “maksiat” dan kejadian ini bukan satu dua kali tapi sudah seringkali tanpa ada tindakan yang jelas dari aparatur penegak hukum. Akhirnya sebagian muncul untuk menertibkan atau membubarkan ormas tersebut yang sudah meresahkan masyarakat.

Sebagian masyarakat tidak sependapat dengan hal tersebut, karena langkah pembubaran ormas dikhawatirkan akan dianggap sebagai upaya pembungkaman aspirasi rakyat yang bertentangan dari paham penguasa seperti yang terjadi pada masa orde baru. Pembubaran ormas ini sama halnya dengan penguburan demokratisasi, yang mencegah peran serta masyarakat dalam usaha penyelenggara negara. Namun sebagian masyarakat berpendapat bahwasanya tindakan ormas tersebut sudah menyimpang dari aturan hukum alias main hakim sendiri (eigen rechting) yang menganggap mereka adalah aparatur negara yang sah untuk menetapakan boleh atau tidaknya suatu hal. Penertiban dilaksanakan dengan mengacu UU No 8 tahun 1985 tentang ormas dan PP NO 18 tahun 1986 tentang ormas dan Permendagri No. 33 Tahun 2012. Dalam aturan tersebut ormas dan LSM dilarang melakukan aktivitas yang dapat menyebarkan kerusuhan dan SARA, memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, merongrong kewibawaan dan mendiskreditkan pemerintah, menghambat program pembangunan dan kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Persoalan lain adalah adanya kecurigaan sebagian pihak terhadap sepak terjang ormas yang mendapat dukungan dana dari luar negeri, pihak ini mencurigai ada hidden agenda yang dapat merusak satabilitas dan keamanan dalam negeri dalam konteks yang besar bisa mengacaukan harmoni sosial seperti yang terjadi konflik di beberapa daerah di Indonesia. Keberadaan undang-undang No 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan relatif tertinggal, tidak mampu menjawab soal-soal diatas dan tidak mampu mengimbangi perkembangan dan perubahan kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan yang tengah terjadi. Sejak diundangkan UU No 8 tahun 1985 ini, belum pernah ada lagi undang-undang ataupun rujukan sekaligus payung hukum terhadap keberadaan kehidupan dan kelangsungan organisasi kemasyarakatan dan semacamnya.

Perubahan Mendasar dalam Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan

Bahwa Perubahan mendasar dalam keberadaan organisasi kemasyarakatan di Indonesia telah terjadi seiring dengan bergulirnya reformasi sejak 1998. Perubahan ini terjadi karena sebelum 1998, kehidupan beroganisasi di Indonesia berada di bawah kendali pemerintah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) menjadi alat penguasa untuk melakukan pengendalian atas kebebasan berorganisasi.

Secara yuridis formal, UU No 8 Tahun 1985 beserta peraturan pelaksananya masih berlaku, namun dilihat dari segi implementasi sosiopolitik, sudah tidak efektif lagi, hingga kemudian, DPR dan Pemerintah sepakat untuk mengganti aturan tersebut. Terbukti, Pemerintah dan DPR telah menempatkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-2009. Namun tak sedikit pun materinya sempat dibahas saat itu.

Prolegnas 2010-2014 memunculkan kembali aturan pengganti UU Ormas, melalui RUU tentang Perubahan atas UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas). Desakan untuk segera dibahas RUU tersebut semakin kuat dalam rangka menindaklanjuti hasil rapat gabungan antara DPR dan Pemerintah pada 30 Agustus 2010. Rapat gabungan tersebut diselenggarakan, salah satunya adalah untuk merespon maraknya berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa Ormas.

Selain itu, penyikapan sejumlah pihak, termasuk DPR dan Pemerintah yang diwakili Kementerian Dalam Negeri terhadap eksistensi sebuah lembaga yang diidentifikasi sebagai “LSM asing” merupakan perkembangan berikutnya yang dapat kita amati akhir-akhir ini. Bahkan sudah ada ancaman pengusiran yang ditujukan kepada “LSM asing” tersebut, dengan dalih keberadaannya dapat mengancam kedaulatan dan stabilitas nasional. Saat ini, revisi UU Ormas sudah masuk dalam pembahasan di DPR sebagai RUU Usul Inisiatif DPR.

Keberlangsungan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan terkait diajukannya Revisi Terhadap UU tersebut.

Bahwa Pemerintah Republik Indonesia mengharapkan revisi Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan mengatur lebih tegas pemberian sanksi untuk organisasi yang melanggar aturan.

Bahwa Pemerintah Republik Indonesia  mengusulkan dalam rancangan revisi UU Ormas yang saat ini sedang dibahas di DPR, agar prosedur pembekuan atau pembubaran Ormas yangmelanggar aturan dibuat lebih pendek. Ia menilai prosedur pembekuan atau pembubaran yang selama ini digunakan terlalu panjang dan perlu disesuaikan dengan kondisi masa kini.

Bahwa “Dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas, prosesnya sangat panjang dan berbelit. Seharusnya lebih singkat dan tegas,” katanya. UU 8/1985 mengatur pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat ormas apabila ormas melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, dan memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara.

Bahwa Apabila Ormas yang pengurusnya dibekukan masih tetap melakukan kegiatan yang dilarang, maka pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bersangkutan. Prosedur pembekuan dan pembubaran ormas ini diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 18 Tahun 1986. Pemerintah sebelum melakukan tindakan pembekuan terlebih dahulu melakukan teguran tertulis sekurang-kurangnya dua kali dengan jarak waktu 10 hari kepada pengurus, pengurus daerah atau pengurus pusat ormas yang bersangkutan.

Bahwa sebelum melakukan tindakan pembekuan sebagaimana dimaksud, bagi organisasi kemasyarakatan yang mempunyai ruang lingkup nasional, pemerintah pusat meminta pertimbangan dan saran dalam segi hukum dari Mahkamah Agung. Tindakan pembekuan dapat juga dilakukan oleh gubernur atau bupati/wali kota terhadap pengurus daerah dari ormas di wilayah masing-masing. Apabila ormas yang pengurusnya telah dibekukan masih tetap melakukan kegiatan yang dilarang, maka pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bersangkutan.

Pemerintah mengusulkan ketika ada ormas yang melanggar hukum maka harus segera diproses secara hukum dan dapat langsung dibekukan. Pemerintah menghormati kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan. Namun, hukum harus ditegakkan. Jika ada ormas yang melanggar aturan harus ditindak dengan tegas.

6 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page