MONOPOLI JAMINAN KESEHATAN OLEH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)
Penulis: Aditya Spadya
ALSA Local Chapter Universitas Hasanuddin
Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan pendapatan seseorang dari pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit, obat-obatan, operasi, dan lain-lain. Dapat disimpulkan, bahwa kesehatan tidak dapat digantikan dengan materi dan tidak ada orang kaya siap dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang diderita. Oleh karenanya Undang-Undang BPJS (selanjutnya disebut UU BPJS) lahir berdasarkan amanat dari Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional agar dapat memberikan jaminan kesehatan bagi warga negara. Namun perdebatan muncul ketika jaminan kesehatan BPJS dinilai monopolistik yang mereduksi perusahaan jaminan kesehatan swasta di Indonesia. Padahal BPJS lahir agar memberikan sebuah kemudahan dan keuntungan bagi masyarakat ketika menderita sebuah penyakit.
Sejarah BPJS diawali dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. Kemudian lahirlah Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968 menaungi lahirnya Badan Penyelenggara Dana Pemeliharan Kesehatan (BPDPK) yang merupakan embrio BPJS, setelah itu terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1984, yang mengubah BPDPK menjadi Perum Husada Bakti. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992, mengubah Perum Husada Bakti menjadi PT (Persero) ASKES. Dan pada akhirnya berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), pada 1 Januari 2014 PT ASKES berubah menjadi BPJS Kesehatan.
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Kemudian berdasarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, bahwa Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Selanjutnya, Menurut UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, bahwa BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa monopoli jaminan kesehatan oleh BPJS merupakan suatu bentuk penguasaan atas program perlindungan kesehatan masyarakat (jaminan kesehatan) oleh badan hukum, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Secara sosiologis, terdapat banyak Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Bapel JPKM) swasta yang merasa dirugikan dengan adanya beberapa ketentuan pasal dalam UU BPJS. Beberapa pasal diantaranya, yaitu pasal 15 ayat (1) yang memerintahkan setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta BPJS. Ketentuan dalam pasal tersebut apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi berupa teguran tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. selain itu, ketentuan pada pasal 16 ayat (1) memerintahkan pula kepada setiap orang selain pemberi kerja, pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya sebagai peserta kepada BPJS. Beberapa ketentuan pasal tersebut menyebabkan banyaknya Bapel JPKM mengalami kerugian dengan adanya frasa wajib pada pasal-pasal UU BPJS.
Banyaknya peserta dari perusahaan mitra kerjasama Bapel JPKM salah satunya, yaitu PT. Panca Bina yang telah setia bekerjasama selama 18 tahun terpaksa keluar dari kepesertaan Bapel JPKM PT. Panca Bina karena adanya Sosialisasi dari BPJS yang berulang-ulang tentang Kebijakan Pemerintah “Wajib mengikuti kepesertaan di BPJS Kesehatan per tanggal 1 Januari 2015” Dengan banyaknya perusahaan yang keluar dari kepesertaan Bapel JPKM PT. Panca Bina, jelas hal ini sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan Perusahaan dan Karyawan PT. Panca Bina yang terancam kehilangan pekerjaan. Pada awal tahun 2015 terpaksa tidak memperpanjang karyawan kontrak sejumlah 24 orang karena keberadaan perusahaan yang tidak memungkinkan untuk hal ini. Sedangkan karyawan tetap perusahaan tentunya akan menjadi beban PT. Panca Bina, apalagi dengan UMR yang sekarang ini ditetapkan oleh Peraturan Bubernur yang semakin tinggi.
Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa Bapel JPKM mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan putusan No. 138/PUU-XII/2014. Dalam amar putusan tersebut menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Adapun dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa secara teori, salah satu jenis asuransi adalah asuransi sosial, yaitu asuransi yang wajib diikuti oleh seluruh atau sebagian penduduk yang pendanaannya dapat berasal dari premi/iuran berupa persentase upah yang wajib dibayarkan atau berasal dari pajak maupun kombinasi keduanya dan manfaat (benefit) asuransi ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan serta sama untuk semua peserta asuransi. Dalam asuransi sosial terdapat sistem gotong-royong (risk sharing) yang dikelola secara formal dengan hak dan kewajiban yang disepakati secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dana yang terkumpul dari masing-masing penduduk (dana amanat) akan digunakan untuk kepentingan bersama. Bahwa asuransi sosial bertujuan untuk menjamin akses semua orang yang memerlukan pelayanan kesehatan tanpa mempedulikan status ekonomi atau usianya, sehingga memungkinkan terciptanya solidaritas sosial melalui gotong- royong antara kelompok kaya-miskin, muda-tua, dan sehat-sakit. Prinsip tersebut merupakan bagian dari pengamalan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya sila ke-3 “Persatuan Indonesia” dan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bahkan Soekarno secara tersurat dalam pidatonya di Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI), tanggal 1 Juni 1945 menyatakan bahwa gotong-royong adalah saripati Pancasila dan menjadi ciri khas negara yang didirikan sebagai wujud impian dan cita-cita bersama rakyat Indonesia. Perubahan konsep penyelenggara jaminan sosial yang semula dilaksanakan oleh BUMN yang kinerjanya diukur berdasarkan indikator laba dan indikator finansial lain kemudian diserahkan kepada suatu badan hukum publik khusus yang hanya menyelenggarakan program jaminan sosial dengan prinsip gotong-royong, nirlaba, tata kelola yang baik (good governance), dan portabilitas telah meluruskan kembali tujuan jaminan sosial yang merupakan program kewajiban negara. Masyarakat juga lebih mendapatkan akses untuk menyampaikan pendapatnya serta memperoleh informasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Secara faktual implikasi dari penerapan UU BPJS memberikan dampak terhadap Bapel JPKM sehingga dinilai monopolistik. Namun, dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa UU BPJS tidaklah inkonstitusional terhadap UUD NRI 1945. UU BPJS merupakan amanat dari UUD NRI 1945 pada pasal 34 ayat (2) yang berbunyi, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” selanjutnya pada pasal 34 ayat (3) yang berbunyi, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Jika merujuk pada naskah akademik UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, dalam naskah akademik menjelaskan bahwa program Jaminan Sosial diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi sosial bantuan sosial, dan atau tabungan wajib yang bertujuan untuk menyediakan jaminan sosial bagi seluruh penduduk, guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Program tersebut adalah milik bersama antara pemberi kerja (baik swasta maupun pemerintah) dan pekerja (baik di sektor formal maupun di sektor informal). Sudah barang tentu tidak semua penduduk mempunyai penghasilan rutin tetap yang memungkinkannya mengiur. Di pihak lain, sebagai bangsa yang berbudaya, seluruh warga negara tidak boleh membiarkan salah seorang diantaranya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Jika kita melihat lebih meluas, bahwa BPJS merupakan badan yang dibentuk untuk mengurus hajat hidup orang banyak, sehingga apabila kita merujuk pada UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada Pasal 50 poin (a) menyebutkan bahwa yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini salah satunya adalah perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku. Adapun pada pasal 51, berbunyi “Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah”. Sehingga dapat ditarik kesimpulan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 praktik monopoli BPJS sesuai dengan hukum yang berlaku.
Program Jaminan Sosial yang dijalankan oleh BPJS sesuai terhadap amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagai program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Selain itu, Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.
Apabila kita melihat perbandingan dengan negara lain, beberapa negara menerapkan sistem jaminan sosial yang bersifat wajib bagi seluruh warga negaranya. Di Negara Filipina Pada tahun 1980 beberapa kelompok pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program Jaminan Sosial. Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun 1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian 21 juga diwajibkan untuk mengikuti program Jaminan Sosial. Program Jaminan Sosial tersebut dikenal dengan Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari angkatan kerja, termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal. Khusus pegawai negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan program tersendiri yang disebut sebagai Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai negeri. Di negara Thailand Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada dibawah Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula program tersebut wajib bagi pemberi 24 kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja dengan satu atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi peserta. Adapun negara Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi kesehatan wajib di tahun 1976 setelah selama 13 tahun gagal mengembangkan asuransi 26 kesehatan sukarela. Asuransi kesehatan wajib dimulai dari pemberi kerja yang memiliki jumlah pekerja banyak terus diturunkan. Pada tahun 1989 seluruh penduduk sudah memiliki asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih dari 300 lembaga nirlaba. Kini seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan penyelenggara yaitu National Health Insurance Corporation (NHIC) suatu lembaga semi-pemerintah yang independen dengan cakupan praktis seluruh penduduk.
Jaminan Sosial khususnya jaminan kesehatan merupakan salah satu aspek dalam perwujudan negara kesejahteraan (Welfare State). Prof. Mr. R. Kranenburg, menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat. Maka akan sangat ceroboh jika pembangunan ekonomi dinafikan, kemudian pertumbuhan ekonomi hanya dipandang dan dikonsentrasikan pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah indikator yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001.
Konvensi ILO (International Labour Organization Convention) Nomor 102 Tahun 1952.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Naskah Akademik Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-XII/2014.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. 1989. Ilmu Negara Umum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Yohandarwati, dkk. 2003. Desain Sistem Perlindungan Sosial Terpadu. Jakarta: Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan BAPPENAS.
BPJS, Humas. 2015. Sejarah Perjalanan Jaminan Sosial Di Indonesia, diakses dari https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2013/4, pada 4 Juni 2018.
留言