Secara alamiah manusia adalah agen moral. Manusia merupakan substansi mental dan hak, tubuh manusia itu sendiri sebenarnya merupakan kekayaan manusia yang bersangkutan.[1] Berdasarkan pendapat John Locke tersebut, manusia pada dasarnya telah melekat kebebasan dalam hal bertindak namun tetap terikat pada aspek moralitas dan kebebasan yang dimiliki oleh orang lain. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Kebebasan itu lah membuat manusia untuk kreatif dalam bertindak dan mendayagunakan akalnya untuk menghasilkan dan menciptakan sesuatu yang berguna bagi diri pribadi dan masyarakat. Lebih lanjut David McClelland dengan teori motivasinya menegaskan, semua orang memilliki otak, namun tidak semua orang mendayagunakan fungsi otaknya untuk melakukan sesuatu. Bahwa seseorang menghasilkan sesuatu karena memang memiliki motivasi untuk berprestasi.[2] Sehingga dari usaha menghasilkan sesuatu secara otomatis merupakan milik dari inventornnya dan memiliki hak-hak dasar atas invensinya.
Pentingnya suatu perlindungan dan pengakuan kepada inventor merupakan wujud nyata bagi negara dalam meningkatkan kesejahteraan negara dan meningkatkan kualitas hidup inventor. Sehingga dengan perlindungan dan pengakuan itu dapat meningkatkan kemampuan inventor untuk menghasilkan sesuatu (invensi) dan memicu lahirnya inventor-inventor lain. Perlindungan dan pengakuan berupa paten tersebut telah lama diimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten yang telah beberapa kali mengalami perubahan yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 sebagai implikasi keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO). Bentuk harmonisasi konvensi-konvensi tersebut berujung pada revisi terhadap Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Implementasi undang-undang tersebut dalam usia 15 tahun terakhir ini masih belum dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan perlindungan inovasi atau invensi berbasis paten, serta peningkatan kesejahteraan para inventor atau para pemagang Paten, apalagi menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Belum optimalnya pemanfaatan UUP dapat terlihat dengan jumlah permohonan Paten dalam negeri yang masih sangat tergolong rendah, yaitu sebesar 7.450 pada tahun 2013 jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Tiongkok 825.136 permohonan paten dan negara tetangga (Singapura) 9.722 permohonan paten.[3]
Dinamika kebutuhan yang berkembang pesat yang belum terampung dalam UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Belum adanya peraturan-peraturan pelaksana misalnya Peraturan Pemerintah tentang Lisensi, Peraturan Pemerintah tentang Lisensi Wajib, dan sebagainya. Masalah lain yang timbul dalam hal pengajuan permohonan paten yang relatif lama dan biaya permohonan paten serta biaya pemeliharaan paten relatif masih dianggap mahal bagi inventor, yang umumnya bukan pengusaha besar. Oleh karena itu, perlunya suatu new system dalam pengaturan tentang Paten sehingga dapat mencapai cita-cata bangsa dalam kesejahteraan sosial atau welfare state.
Dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten yang merivisi UUP sebelumnya menghadirkan wajah baru Paten dalam negeri, dan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penyelenggaraan Paten di Indonesia. upaya tersebut tercermin dalam UUP baru dengan cara, yaitu e-filing, pemberian insentif, proses pemeriksaan yang efisien dan cara pembayaran biaya pemelirahaan paten yang lebih mudah. Berikut uraian studi komparasi UUP lama dengan UUP baru.
Subjek dan Objek Paten
Subjek yang terkena oleh adanya perubahan UUP yaitu:
Inventor lokal;
Pekerja outsourcing (Expert Paten Examiner); dan
Peneliti aparatur sipil negara.
Selain itu, adanya penafsiran inventor secara meluas dalam UUP baru ini, inventor dalam UUP sebelumnya hanya menyebutkan bahwa “inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi”. Sehingga penafsiran inventor hanya berlaku bagi perorangan atau beberapa orang saja, bagaimana kemudian subjek hukum lainnya dalam hal ini badan hukum? UUP baru dalam ketentuan umum, Pasal 1 angka 13 menegaskan bahwa “orang adalah perseorangan atau badan hukum”, sehingga dapat ditafsirkan secara meluas bahwa inventor terdiri dari, a) perseorangan, b) beberapa orang-perseorangan secara bersama, c) badan hukum, dan d) beberapa badan hukum secara bersama.
Selanjutnya, objek dari perubahan ini yang tertuang dalam naskah akademik UUP baru yaitu pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Genetik dan/atau Pengetahuan Tradisional, kecuali asal dari Sumber Daya Genetik dan/atau Pengetahuan Tradisional tersebut disebutkan dengan benar dalam deskripsi Permohonan Paten menjadi salah satu arah perubahan pengaturan Undang-Undang Paten, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan hayati, budaya dan etnis bangsa Indonesia yang sangat beraneka ragam sebagai sumber daya Hak Kekayaan Industri, serta proses penelusuran, pembuatan, pengembangan, administrasi pendaftaran dan penegakan hukum Kekayaan Intelektual.
Salah satu upaya besar yang diatur dalam UUP baru ini adalah mengubah paradigma masyarakat yang sebagian besar bersifat komunal yang sulit bagi mereka untuk menerimaa konsep-konsep kekayaan intelektual yang menonjolkan hak-hak pribadi. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa buah pikiran (intellectual creation) adalah kekayaan (property). Padahal jika mencermati keberagaman etnis dan budaya Indonesia dapat menghasilkan banyak buah pikiran, dalam hal ini pengetahuan tradisional sebagai kekayaan misalnya ramuan-ramuan obat.
Namun, masih menjadi tanda tanya besar dalam UUP baru ini apakah Pengetahuan Tradisional dapat digolongkan suatu invensi? Mencermati pasal per pasal dalam UUP baru, tidak satupun yang menegaskan secara eksplisit pengetahuan tradisional sebagai suatu invensi. Invensi menurut penafsiran UUP baru dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 2 “invensi adalah ide yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses”. Apakah kemudian pengetahuan tradisional dalam hal ini dapat diklasifikasikan sebagai teknologi sesuai dengan pengertian invensi tersebut? Apalagi suatu invensi dapat diberikan perlindungan paten jika memenuhi unsur kebaharuan, langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 3 UUP. Apakah pengetahuan tradisional ini digolongkan Paten (biasa) atau Paten sederhana dan pengetahuan tradisional seperti apa selama ini dapat diterapkan dalam industri? Hal-hal tersebut yang belum mendapat penjelasan dan pengaturan lebih jauh dalam UUP baru sesuai ruang lingkup objek Paten dalam naskah akademik yaitu salah satunya pengetahuan tradisional. Pembentukan peraturan lebih lanjut atau teknis tidak dijumpai dalam UUP baru, seperti apa pengetahuan tradisional dapat diberikan perlindungan Paten.
Penyesuaian dengan sistem Industrial Property Automation System (IPAS)
Pendaftaram melalui e-filing menjadi kebutuhan untuk memudahkan Pemohon yang ingin mendaftarkan Invensinya untuk dapat dilindungi Paten. Dengan sistem e-filing pengajuan permohonan menjadi sederhana, cepat, dan biaya yang dikeluarkan pemohon (selain biaya pendaftaran Paten) menjadi lebih murah. Sehingga dalam UUP baru permohonan Paten dapat diajukan secara manual atau elektronik, sesuai dengan Pasal 24 ayat (4) UUP baru. Penerapan e-filing ini sangat sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Pelayanan secara e-filing akan sangat efektif dan efisien untuk meningkatkan perlindungan Paten di tanah air.
Paten yang telah kadaluarsa (public domain) tidak diberi perlindungan Paten berupa penggunaan kedua
Pasal 4 huruf f menegaskan bahwa, invensi tidak mencakup berupa temuan (discovery) berupa, penggunaan baru untuk produk yang sudah ada dan/atau dikenal; dan/atau bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat bermakna dan terdapat perbedaan struktur kimia terkait yang sudah diketahui dari senyawa. Dengan pelarangan penggunaan kedua terutama untuk medis pada Paten yang kadaluarsa akan sangat menguntungkan masyarakat dengan harga obat menjadi relatif lebih murah sebab tidak perlu membayar royalty karena telah menjadi public domain. Penggunaan Paten yang sudah kadaluarsa bukan merupakan Invensi, hanya merupakan discovery, sebagaimana invensi pada dasarnya adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
Publikasi di Perguruan Tinggi atau lembaga ilmiah nasional (new invention dan inventive step)
Suatu invensi dapat diberikan perlindungan Paten adalah salah satunya mengandung unsur kebaruan. Akan tetapi penyelenggaraan UUP sebelumnya selama ini untuk invensi yang diumumkan oleh inventornya dalam sidang ilmiah dalam bentuk ujian dan/atau tahap-tahap ujian skripsi, tesis, disertasi dan/atau forum ilmiah lain dalam rangka pembahasan hasil penelitian di perguruan tinggi atau lembaga penelitian tidak dapat didaftarkan Paten karena dianggap telah diumumkan sehingga tidak memenuhi unsur kebaruan. Tentu hal tersebut sangat merugikan inventor terutama yang bekerja di perguruan tinggi. Sehingga dalam UUP baru memberikan pengecualian pengumuman terhadap invensi dalam perguruan tinggi. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf c, bahwa: ”dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, Invensi telah:… c. diumumkan oleh inventornya dalam: 1. Sidang ilmiah dalam bentuk ujian dan/atau tahap ujian skripsi, tesis, disertasi, atau karya ilmiah lain; dan/atau 2. Forum ilmiah lain dalam rangka pembahasan hasil penelitian di lembaga pendidikan atau lembaga penelitian.”
Inventor dalam Hubungan Dinas
Dalam UUP lama (UU No. 14 Tahun 2001) hanya mengatur hubungan karyawan yang mendapatkan invensi dengan tempat bekerja yang memakai fasilitas kantor untuk mendapatkan invensi. Sedangkan hubungan inventor dalam hubungan dinas dengan instansi pemerintahan apabila menemukan suatu invensi belum diatur. Padahal pemberian imbalan kepada inventor dalam hubungan dinas akan berdampak kepada upaya mendongkrak jumlah Paten domestik. Sehingga dalam UUP baru (UU No. 13 Tahun 2016) mengatur secara tegas terkait imbalan bagi peneliti Pegawai Negeri Sipil, bahwa Pasal 13 “(1) Pemegang Paten atas Invensi yang dihasilkan oleh Inventor dalam hubungan dinas dengan instansi pemerintah adalah instansi pemerintah dimaksud dan Inventor, kecuali diperjanjikan lain; (2) Setelah Paten dikomersialkan, Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mendapatkan Imbalan atas Paten yang dihasilkannya dari sumber penerimaan negara bukan pajak; (3) Dalam hal instansi pemerintah sebagai Pemegang Paten tidak dapat melaksanakan Patennya, Inventor atas persetujuan Pemegang Paten dapat melaksanakan Paten dengan pihak ketiga; (4) Terhadap pelaksanaan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selain Pemegang Paten, Inventor memperoleh Royalti dari pihak ketiga yang mendapatkan manfaat ekonomi dari komersialisasi Paten tersebut; (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan hak Inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam sertifikat Paten.”
Inventor dalam hubungan dinas tetap mempunyai hak moral dan tidak menghapuskan hak inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam sertifikat Paten meskipun Paten yang didaftarkan dimiliki oleh instansi pemerintahan yang besangkutan. Inventor telah memperoleh invensi tersebut apabila invensinya telah didaftarkan Paten dan Paten tersebut dikomersilkan oleh instansinya maka inventor layak diberi imbalan sebagai pemberian apresiasi dari hasil karya melakukan penelitian serta invensi tersebut harus invensi yang berfungsi dan bermanfaat.
Sertifikat Paten sebagai Jaminan Fidusia
Fidusia menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 42 tahun 1999, yaitu pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan fidusia sendiri diartikan sebagai hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak. Dihubungkan dengan Paten merupakan benda bergerak yang tidak berwujud yang selama ini tidak diatur dalam UUP lama mengenai Paten yang dijadikan jaminan fidusia. Dalam Pasal 108 ayat (1) bahwa, “Hak atas Paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia”. Bahwa Paten yang berupa hak (benda bergerak tidak berwujud) wajib disertifikatkan, sehingga sertifikat atas Paten tersebut dapat dijadikan objek jaminan fidusia. Selanjutnya pelaksanaan Paten sebagai jaminan fidusia akan diatur dengan peraturan pemerintah dan dilaksanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengalihan Paten dengan cara Wakaf
Ketidakjelasan pengaturan mengenai perwakafan atas Paten menyebabkan timbul berbagai pertanyaan di masyarakat dan keraguan atas niat wakaf. UUP sebelumnya hanya mengatur peralihan Paten dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Padahal jika mencermati UU No. 41 Tahun 2004, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau menfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Lebih lanjut dalam Pasal 16, mengklasifikasikan benda yang dapat diwakafkan yang meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Untuk benda bergerak adalah harta benda yang tidak habis karena dikonsumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara tegas dalam pasal tersebut menegaskan bahwa hak atas kekayaan intelektual dapat diwakafkan, termasuk Paten. Sehingga telah tepat dalam Pasal 74 ayat (1) huruf d UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten menambahkan pengalihan Paten dengan cara wakaf.
[1] Candra Irawan, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, Mandar Maju, Cetakan ke I, Bandung, 2011, hal. 49-51
[2] Ibid., hal. 50
[3] Data Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM.
Comments