MASALAH PERLINDUNGAN ANAK DAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN KETENTUAN UU NO 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Penulis: Muhammad Askin Ali ALSA Local Chapter Universitas Hasanuddin
PENDAHULUAN
Anak secara umum adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Sedangkan menurut UNDANG-UNDANG NO 35 Tahun 2014, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Tindak pidana kekerasan di Indonesia sudah sangat sering terjadi, dan korban dari tindak pidana yg terjadi tidak hanya dari golongan orang dewasa, dari golongan anak-anak pun juga bisa jadi korban. Karena itulah anak-anak harus mendapatkan perlindungan lebih agar terhindar dari tindak pidana kekerasan.
Buruknya perlindungan anak di Indonesia ditunjukkan oleh data statistic dari Biro Pusat Statistik (BPS). Tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia yang menjadi korban tindak pidana sebanyak 1,06%, dan sebanyak 0,29% atau 247.610 dari korban tindak pidana ialah anak-anak. Meskipun data tersebut tidak begitu terinci dari kasus tindak pidana apa anak-anak tersebut, bisa tindak pidana kekerasan, eksploitasi, penelantaran maupun perlakuan salah. Dan hampir 80% diantaranya memilih untuk tidak melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Sementara itu, KPAI mencatat beberapa kasus kekerasan terhadap anak dari tahun 2011-2015, yang dimana tiap tahunnya menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak dari tahun 2011-2014 terus meningkat. Pada tahun 2015, kasus kekerasan terhadap anak menurun dari 5.066 kasus menjadi 4.309 kasus.
BPS menyatakan bahwa penanganan terkait masalah perlindungan anak di Indonesia jalan di tempat. Berdasarkan data yang ada di atas, kasus kekerasan terhadap anak yang dari tahun ke tahun kian meningkat, tidak salah kalau BPS menyatakan bahwa penanganan masalah perlindungan anak di Indonesia jalan di tempat.
Undang-Undang di Indonesia yang membahas tentang Perlindungan Anak juga cukup banyak, setidaknya ada 22 Undang-Undang yang membahas tentang Perlindungan Anak. Diantara 22 UNDANG-UNDANG tersebut, ada UNDANG-UNDANG yang mengatur perlindungan anak secara langsung, adapun UNDANG-UNDANG yang mengatur perlindungan anak secara tidak langsung, bahkan ada juga yang merupakan ratifikasi konvensi internasional.
PEMBAHASAN
Meskipun UNDANG-UNDANG Tentang Perlindungan Anak telah mengalami revisi sebanyak dua kali, revisi yang dilakukan tidak berdasarkan pada kesadaran untuk menciptakan keharmonisan sehingga dapat mengurangi kasus tindak pidana terhadap anak, tetapi revisi yang dilakukan hanya berdasarkan laporan yang diterima dari masyarakat atau persoalan yang muncul di masyarakat. Mengapa masalah perlindungan anak belum tuntas? Padahal UNDANG-UNDANG Tentang Perlindungan Anak telah direvisi dua kali, karena revisi terhadap UNDANG-UNDANG Perlindungan Anak masih bersifat parsial dan kasuistis.
Salah satu tindakan yang dilarang dan dapat dipidana yang telah diatur untuk melindungi anak ialah kekerasan. Bukan hanya kekerasan, tapi ada juga eksploitasi, diskriminasi anak dan perlakuan salah. Tentu tindak pidana di atas sudah ada UNDANG-UNDANG yang mengatur sebelumnya, antara lain Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 dan Undang-Undang nomor 35 tahun 2014.
Undang-Undang diatas belum memberikan efek yang memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan terhadap anak, meski hukuman yang dijatuhkan kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak sangat bervariasi, hukuman berupa denda, ganti kerugian dan rehabilitative. Tetapi hukuman yang menggunakan pendekatan retributive masih menonjol dalam Undang-Undang diatas.
Mencantumkan unsure-unsur tindak pidana terhadap anak sangat penting, karena dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Dalam konteks hukum pidana, unsur tindak pidana (bestandelen delick) menjadi hal yang sangat krusial untuk memasikan pelaku tindak pidana telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pada anak.
Definisi tindak pidana kekerasan terhadap anak telah ditampilkan dalam konteks Undang-Undang Nasional kita, yakni dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 1 ayat 2, Pasal 9 ayat 1a, Pasal 15, disebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, yang berbunyi
“Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” PASAL 1 ayat 2.
“Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.” PASAL 9 ayat 1a.
“Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
pelibatan dalam sengketa bersenjata;
pelibatan dalam kerusuhan sosial;
pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsure Kekerasan;
pelibatan dalam peperangan; dan
kejahatan seksual.” PASAL 15.
Pasal diatas menyebutkan bahwa anak memiliki hak untuk dilindungi dari segala tindak kekerasan, baik dari kalangan keluarga maupun dari tenaga kependidikan dan/atau pihak lain. Bukan hanya 3 pasal tersebut yang menyebutkan tentang perlindungan anak dari tindak kekerasan, pasal 54 ayat 1 juga menyebutkan bahwa anak yang berada didalam lingkungan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh tenaga kependidikan, sesame peserta didik, dan/atau pihak lain.
Dalam Pasal 1 ayat 15a disebutkan bagaimana suatu perbuatan bisa dikategorikan sebagai kekerasan, yang berbunyi
“Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.”
Pasal diatas sudah jelas disebutkan bagaimana suatu perbuatan, dapat dikategorikan sebagai kekerasan, ancaman pun juga termasuk dalam melakukan kekerasan. Pasal ini juga membatasi masyarakat dalam berbuat sesuatu kepada anak agar bisa terhindar dari tindak kekerasan.
Dalam pasal 76C disebutkan tentang larangan melakukan kekerasan terhadap anak, yang berbunyi
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Pasal diatas sudah sangat jelas melarang setiap orang untuk melakukan kekerasan terhadap anak, bahkan kita juga dilarang untuk membiarkan kekerasan terhadap anak terjadi.
Dari rumusan pasal diatas, mungkin sudah jelas bahwa setiap anak wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan, baik itu tindak kekerasan secara fisik, maupun tindak kekerasan secara psikis. Setiap anak wajib mendapatkan perlindungan dari keluarga, masyarakat sekitar, pendidik, tenaga kependidikan, sesame peserta didik, aparat kepolisian, dan juga pemerintah.
PENUTUP
Rumusal pasal yang dibahas diatas sudah menyebutkan bagaimana anak harus mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan. Rumusan pasal diatas juga menyebutkan tentang larangan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap anak, bahkan untuk membiarkan tindak kekerasan terhadap anak pun juga dilarang. Dan rumusal diatas telah menyebutkan tentang bagaimana suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak.
Kekerasan terhadap anak dalam lingkup rumah tangga juga perlu dipertimbangkan, karena masih belum ada yang menyebutkan secara khusus tindak kekerasan terhadap anak dalam lingkup rumah tangga. Tindak kekerasan anak dalam lingkup rumah tangga menjadi penting untuk disebutkan secara khusus, agar pengertian yang terlalu luas dapat menjadi pengertian yang spesifik.
“Domestic violence is one of the most pervasive forms of violence affecting children and includes acts of violence perpetrated by one member of a family or household against another, including children. Domestic violence may include physical violence, verbal and emotional abuse, sexual coercion and rape, and other various controlling behaviours. Children who witness acts of domestic violence are regarded as victims of the violence.” (UNICEF: Analysis of Domestic Related to Law Violence against Children : June 2015 : 3).
Kutipan dari UNICEF diatas dapat menjadi bahan pertimbangan untuk disebutkannya secara khusus tindak kekerasan anak dalam lingkup rumah tangga.
Setiap anak wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan, jika kita wajib melindungi anak, tentu kita tidak boleh menyakiti atau melakukan tindak kekerasan terhadap anak, baik itu tindak kekerasan secara fisik, maupun tindak kekerasan secara psikis, bahkan kita mengancam anak pun dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan.
Comments