Setiap apa yang ada dimuka bumi ini diciptakan secara berpasang-pasangan, begitu juga dengan manusia. Adanya Pria maka juga akan ada wanita yang melengkapinya. Diantara pergaulan pria dan wanita nantinya akan timbul rasa cinta dan niatan untuk hidup bersama. Untuk itu perlu adanya suatu prosesi untuk melegalkan hubungan yang tadinya tidak sah menjadi sah, prosesi inilah yang disebut dengan perkawinan. Dalam hal perkawinan seyogyanya siapapun berhak menikah dengan orang yang diinginkannya, baik orang tersebut satu keyakinan maupun berbeda.
Di negara Indonesia ada enam agama yang diakui secara hukum, yakni Islam, Katholik, Hindu, Budha, Protestan dan Konguchu. Dalam pancasila poin pertama berbunyi: “ketuhanan Yang Maha Esa” oleh karenanya negara Indonesia juga adalah negara hukum jadi apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang harus dipatuhi, karena setiap aturan bersifat memaksa. Kabar perkawinan beda agama kembali gencar diberitakan pada pertengahan tahun 2014, saat seorang mahasiswa dan empat alumni Fakulas Hukum Universitas Indonesia menggugat Undang-undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi khususnya Pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974 yang berbunyi: ”perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannnya itu” yang dianggap menghalangi atau mempersulit terjadinya pernikahan beda agama.
Semenjak disahkannnya undang-undang tersebut di atas, maka di Indonesia perkawinan berbeda agama dilarang, tetapi jika ini menyangkut pertalian dua manusia yang mempunyai hasrat untuk hidup bersama apakah tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika perkawinan hanya dibatasi untuk mereka yang berkeyakinan sama. Lalu bagaimana jika seseorang yang berbeda agama ingin melegalkan hubungan mereka dihadapan hukum Indonesia, apakah salah satunya harus meninggalkan keyakinan atau dengan kata lain berpindah agama. Pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974 sudah sangat jelas menyebutkan bahwa perkawinan yang sah di muka agama dan negara adalah perkawinan yang sesuai dengan aturan yang telah diatur dalam agama dan kepercayaan masing-masing orang. Namun dalam memahami pasal ini tentunya banyak menimbulkan multi tafsir, siapa saja dapat menafsirkan berbeda sesuai dengan pemahaman masing-masing.
Penulis bisa menafsirkan bahwa hal tersebut yang dimaksud selama sesuai dengan kepercayaan maka hal itu akan sah-sah saja. Namun harus diperhatikan dalam hukum itu memang bersifat memaksa jadi apa yang telah ditetapkan sejak dulu dan telah disepakati itu harus dipenuhi. Undang-undang No.1/1974 pasal 2 ayat 1 tersebut memang sangat kontroversial terlebih lagi karena ini menyangkut perkawinan. Perkawinan tidak hanya sekedar menyatukan dua insan tetaapi juga menyatukan dua keluaarga. Apabila kepercayaan dari dua keluarga ini dipersatukan dalam suatu rumpun maka jelas ini akan memicu konflik. Bagaimanapun pembatasan perkawinan beda agama melanggar HAM individu yang ingin hidup bersama tetapi berbeda keyakinan, namun jika ini dilegalkan maka selanjutnya pemerintah harus siap menangani lebih banyak konflik dalam rumah tangga. Membina keluarga yang bahagia tidaklah mudah apalagi tidak dilandasi dengan satu keyakinan, menyatukan pendapat dari dua pikiran yang dasarnya memang berbeda bukanlah suatu hal semudah saat mengucapkan janji suci saat akad, kedepannya akan lebih banyak rintangan yang dihadapi dalam membina keluarga. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) mendukung revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu anggota Komisi Hukum PGI, Nikson Lalu, mengatakan, PGI menilai undang-undang tersebut bersifat diskriminatif dan mengabaikan semangat multikulturalisme di Indonesia.
Berlawanan dengan dampak negatif yang mungkin ditimbulkan saat perkawinan beda agama ini dilegalkan, dampak positifnya adalah kecurangan-kecurangan yang selama ini terjadi dalam catatan sipil yang mencatat perkawinan dapat dikurangi bahkan dijamin tidak ada lagi. Karena kita tidak dapat menutup mata bahwa walaupun atauran ini telah ditetapkan dari dulu namun ada banyak diantara warga negara Indonesia yang melanggarnya. Bentuk pelanggarannya ini bisa berupa penyupan terrhadap pegawai catatan negeri sipil agar mencatatkan perkawinan mereka, ataupun dengan cara yang sedikit ekstrem yang dilakukan oleh mereka yang tergolong ekonomi kelas atas, yakni mereka yang ingin menikah dan berrbeda keyakinan menikah diluar negeri dan kembali lagi di Indonesia setelah mendapatkan pengakuan atas sahnya hubungan mereka dihadapan hukum Indonesia.
Apakah perkawinan bukan hal yang sakral sehingga dengan mudahnya direkayasa hanya untuk mendapatkan pengakuan di depan hukum. Atau apakah perkawinan hanya sebatas hubungan pelegalan sehingga semua cara dapat ditempuh asalkan mendapatkan label saah dari negara. Memang benar negara indonesia adalah negara hukum yang bersifat memaksa, tetapi harus diperhatikan bahwa hukum itu bersifat mengatur karena diangggap dalam masyarakat itu perlu adanya aturan terrsebut guna untuk kenyamanan hidup dalam masyarakat. Jika perkawinan dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia sebenarnya ini sama sekali tidak dibatasi karena setiap orang berhak memilihh agama, jadi jika memang menikah tetapi berbeda keyakinan, mereka bebas memilih ingin memasuki agama yang mana, tentunya jika persoalan keluarga itu sudah menjadi tanggung jawab individu.
Tidak seharusnya hal-hal yang sangat privasi ini dibatasi, karena sesungguhhnya ppernikahaan adalah persoalan kenyamanan untuk hidup bersama. Jadi jika hanya dibatasi untuk orang yang agamaya sejenis maka ini tentunya tidak sesuaai dengan fitrahnya manusia Sah atau tidaknya suatu perkawinan itu tergantung dari kepercayaan masing-masing individu yang ingin menikah, dan disini negara hanya perlu memberikan peengakuan terhadap perkawinan mereka agar kedepannya dalam urursan administrasi buah cinta mereka tidak mengalami kesulitan.
Comentários