KASUS POSISI
Sejak kehadiran Smartphone sejak tahun 2007 di Indonesia,hingga saat ini pengguna smartphone di Indonesia telah mencapai 65%, menurut Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Tentu nya ini tidak lepas dari kehadiran system operasi Android pada Samsung dan IOS pada Apple. Kedua smartphone ini menjadi smartphone dengan jumlah pengguna dominan di dunia, dimana berdasar Persentase dari International Data Corporation (IDC) menunjukkan bahwa Android memiliki 82,8 persen pangsa pasar di seluruh dunia, dan iOS hanya memperoleh 13,9 persen. Android serta IOS sendiri menawarkan berbagai aplikasi unduhan lewat application store mereka masing-masing. serta dengan berbagai fitur tambahan yang disediakan berbagai third party application, seperti Aplikasi Sosial Media Line ataupun Aplikasi Editing Vsco. Beberapa aplikasi ataupun fitur ini tidak diunduh secara cuma-cuma,tetapi berbayar. Tentu saja, dengan perbedaan kurs rupiah dengan dollar yang digunakan oleh dua system aplikasi ini membuat biaya untuk mengundahnya terbilang cukup mahal dan sistem pembayaran yang masih belum dirasa familiar membuat banyak masyarakat yang kebingungan memperoleh akses ke aplikasi dan musik berbayar ini.. Kelemahan ini kemudian dimanfaat kan oleh beberapa orang, dalam hal ini,khususnya masyarakat Indonesia untuk menjadi kesempatan untuk berbisnis. Mereka,yang umumnya remaja membuat suatu usaha dalam penjualan aplikasi maupun fitur tambahan tersebut dengan menjadi pihak ketiga. berawal dari beberapa akun yang menjual aplikasi android dan iOS dan membuka kesempatan reseller. Hingga Dalam beberapa hari kemudian muncul puluhan akun reseller aplikasi android dan iOS yang bertebaran di berbagai media sosial. Modus operandinya adalah dengan peminjaman ID dari penjual kepada pembeli, pembeli melakukan log in ke google play store ataupun app store dengan ID yang diberikan sehingga dapat mengunduh aplikasi yang ia inginkan. Dengan cara itu, penjual dapat memperoleh untung hanya dengan satu kali pembelian aplikasi mereka dapat menjualnya hingga ratusan dan ribuan kali. Pada akhirnya, status keabsahan modus bisnis ini perlu dipertanyakan utamanya kedudukannya dimata ketentuan hukum terkait Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) seseorang.
ISU HUKUM
Apakah Perdagangan Aplikasi melalui Reseller dapat dikatakan melanggar Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan UU yang berlaku?
DASAR HUKUM
UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
ANALISIS
ISU HUKUM I
Dalam penjualan aplikasi melalui reseller atau pihak ketiga, seorang reseller membeli suatu aplikasi/fitur tambahan dalam application store pada system aplikasi Android ataupun IOS. Lalu kemudian para Reseller tersebut membuat satu akun lewat berbagai media social seperti Line, Twitter, Facebook, ataupun Instagram untuk kemudian menjualnya kepada pihak lain. Dalam UU No 28 tahun 2014 tentang hak cipta, tertulis pada Pasal 1, bahwa “ Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Kegiatan yang dilakukan oleh pelaku reseller aplikasi yaitu mencoba mendapat keuntungan berlipat atas penjualan aplikasi tanpa memberikan hak ekonomi yang sama kepada pemegang hak cipta, secara sederhananya, seseorang reseller pada awalnya mengunduh satu aplikasi dari application store Android ataupun IOS secara berbayar, saat itu pemegang hak cipta mendapatkan royalty (katakanlah) sebesar Rp.100.000,00 (serratus ribu rupiah) dalam sekali unduhan, setelah itu pelaku reseller tersebut menjual aplikasi hasil undahannya sedari awal dengan meminjamkan ID nya kepada pembeli sehingga pembeli tersebut dapat mengunduh aplikasi yang ia mau, pada akhirnya jikalau ada 10 (sepuluh) pembeli yang mengunduh aplikasi tersebut, pada akhirnya, royalti dari pemegang hak cipta tetap pada royalty pengunduhan pertama kali, ketika seharusnya mampu mendapatkan sepuluh kali lipat dari royalty awal nya, sehingga dapat dikatan bahwa pelaku reseller tersebut telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam pasal 9 ayat 3, yaitu “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.” Dimana Penggunaan secara komersial berdasar pasal 1 ketentuan Umum UU Hak Cipta didefiniskan bahwa “ Penggunaan Secara Komersial adalah pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.” Sehingga perbuatan dari pelaku reseller tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berdasar pasal 113 yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.4.0000.0000,00 (empat miliar rupiah)
Maka jelas segala bentuk penjualan aplikasi berbasis reseller aplikasi pada dasarnya adalah sebuah bentuk pelanggaran hukum. Walaupun kemudian perbuatan pelanggaran ini terlihat sepele, dan juga kebanyakan pelaku usahanya adalah remaja, membuat alasan motivasi mandiri dapat dikatakan sebagai alasan pembenar dari kegiatan usaha ini. Menurut Bellerino (2008) mengatakan bahwa tidak ada sanksi sosial ataupun stigma negatif yang kuat yang melekat terhadap pembajakan digital/online dikarenakan tidak adanya kerugian social yang ditilmbulkan pada masyarakat. Hanya kepada individu pemegang hak cipta saja, sehingga tidak ada tekanan pembuatan norma terkait hal ini. Padahal dengan tingkat pembajakan di dunia adalah sebesar 36%, pada dasarnya, pembajakan telah menimbulkan kerugian dalam perekenomian global lebih dari 13 Milliar Dollar Amerika Serikat mengakibatkan ribuan pekerja dalam bidang aplikasi dan teknologi kehilangan pekerjaan. Jadi walau disatu sisi kegiatan ini dapat merangsang kemandirian para anak muda,di sisi lain merugikan pemegang hak dari suatu karya cipat yang dihasilkan dengan proses yang kompleks. Sehingga sanksi ataupun pemidanaan di anggap perlu sebagaimana sesuai porsinya berdasar bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum.
KESIMPULAN
Berdasar analisis di atas, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan usaha reseller aplikasi online merupakan salah satu bentuk usaha illegal dalam kegiatan pembajakan serta penggandaan untuk kepentingan komersial sesuai dengan UU No.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
REFERENSI
Undang-Undang Nomor.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Peitz, M. and Waldfogel, J. (eds.), The Oxford Handbook of the Digital Economy, Oxford University Press, 2011
Comments