Belakangan ini, hal yang kerap diperbincangkan oleh setiap lapisan masyarakat di Indonesia dan menjadi headline di setiap media ialah pemilihan kepala daerah/kota melalui DPRD. Banyak yang kontra terhadap UU ini, hingga menyebabkan aksi protes, yang seperti efek domino, satu persatu daerah tak ingin ketinggalan menyuarakan aspirasinya. Namun, tak sedikit pula yang pro terhadap undang-undang ini, sebut saja para kader partai dari Koalisi Merah Putih. Sebenarnya, pemilihan oleh anggota legislatif bukanlah hal yang pertama dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sebelum amandemen IV UUD NKRI 1945 pada tahun 2002, pemilihan presiden dan wakilnya, dilakukan oleh MPR. Jadi, presiden bertanggungjawab atas MPR. Sedangkan untuk pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD, tetap dilakukan oleh rakyat.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah diterapkan prinsip demokrasi, hal ini sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD NKRI 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Namun, menurut Mahkamah (pertimbangan hukum MK poin 3.12.3 dalam salinan putusan MK terkait perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik menurut originil intent maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan secara langsung oleh rakyat ataupun melalui DPRD.
Menurut Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Pattimura, Pof.Dr.Aholiab Watloly, esensi demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Sehingga, undang-undang yang mengatur mekanisme pemilihan gubernur, bupati/walikota oleh DPRD bertentangan dengan makna demokrasi. Pilkada lewat DPRD menghilangkan kedaulatan rakyat, karena anggota dewan berasal dari partai politik dan lekat dengan kepentingan masing-masing, bukan kepentingan atau keinginan rakyat secara menyeluruh. Rakyat yang dimaksud ialah yang riil, bukan institusi yang mengatasnamakan rakyat. Sedangkan pakar hukum tata negara, Yusril Izra Mahendra, sepakat mengenai keberadaan Undang-Undang ini. Menurutnya, pemilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan bentuk efisiensi biaya dan pengawasan terhadap kepala daerah hasil dari pilihan DPRD akan kebih mudah diawasi.
Melihat keresahan yang terjadi di masyarakat atas terbentuknya Undang-Undang Pilkada ini, presiden mencoba mengambil sikap melalui dikeluarkannya Perppu Nomor 1 tahun 2014 mengenai pembatalan terhadap Undang-Undang Pilkada yang telah disahkan oleh parlemen. Namun, terkait langkah yang diambil oleh presiden, banyak pihak yang berpikir bahwa keputusan ini semata-mata hanya merupakan langkah taktis presiden dalam menyelamatkan wibawanya di akhir periode kepemimpinan, bukan kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Pada dasarnya, Undang-Undang yang telah disahkan oleh anggota parlemen tersebut bisa saja dibatalkan melalui pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Pembatalan tersebut terjadi apabila kemudian ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan UUD NKRI 1945. Tentu saja, rakyat Indonesia memberikan harapan yang besar di pundak majelis Mahkamah Konstitusi sebagai panglima penegakan hukum di Indonesia dalam memutuskan sistem demokrasi yang terbaik untuk bangsa Indonesia kedepannya.
Kommentare