KONDISI PENEGAKAN HUKUM LAUT DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SEBAGAI LANGKAH AWAL INDONESIA MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PENDAHULUAN
Penulis Oleh Muhammad Fadli
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian laut adalah kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau, sedangkan kelautan hanya dijelaskan sebagai “perihal yang berhubungan dengan laut”. Berhubungan di sini dapat saja diartikan sebagai dekat, menyentuh, bersinggungan. Dari uraian pengertian ini jelas bahwa istilah kelautan lebih cenderung melihat kelautan dan laut sebagai bentuk fisiknya, sebagai physical entity atau physical property. Indonesia sebagai negara kelauatan yang besar memiliki berbagai sumber daya laut yang besar untuk dapat dikembangkan dan berguna sebagai penunjang langkah Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia.
Untuk menjadi sebuah negara maritim, maka infrastrukur antar pulau dan sepanjang pantai di setiap pulau merupakan hal yang harus dibangun dan dikembangkan. Akan tetapi selain perlu diperhatikannya infratruktur, perlu juga diperhatikan ekosistem laut yang telah mengalami kerusakan yang merupakan bagian penting dari laut. Selain memiliki jenis ikan yang beragam, Indonesia juga ditumbuhi berbagai jenis terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistem khas yang terdapat di daerah tropis yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang, alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Namun keindahan ekosistem laut di Indonesia semakin hari semakin terancam kerusakannya, untuk itu salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penetapan UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan untuk menangani 3 hal. Pertama, Indonesia adalah negara maritim yang terdiri dari banyak kepulauan. Sumber daya tersebut akan dapat mendatangkan keuntungan ekonomi jika dimanfaatkan dengan maksimal. Kedua, UU tersebut dapat mendorong percepatan realisasi investasi di sektor kelautan dan perikanan. Ketiga, pembangunan bidang kelautan selama ini belum menjadi prioritas. Dengan disahkannya UU tersebut diharapkan pembangunan bidang kelautan bisa ditingkatkan.
25 September 2015 bertempat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, para kepala negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, secara resmi mengesahkan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) sebagai kesepakatan pembangunan global. Dengan mengusung tema Transforming Our World : the 2030 Agenda for Sustainable Development (Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan).
SDGs yang berisi 17 Tujuan dan 169 Target merupakan rencana aksi global untuk 15 tahun ke depan (berlaku sejak 2016 hingga 2030), guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berlaku bagi seluruh negara (universal), sehingga seluruh negara tanpa kecuali negara maju memiliki kewajiban moral untuk mencapai Tujuan dan Target SDGs. Tidak Meninggalkan Satu Orangpun (Leave no One Behind) merupakan Prinsip utama SDGs. Berbeda dari pendahulunya Millenium Development Goals (MDGs), SDGs dirancang dengan melibatkan seluruh aktor pembangunan, baik itu Pemerintah, Civil Society Organization (CSO), sektor swasta, akademisi, dan sebagainya. Kurang lebih 8,5 juta suara warga di seluruh dunia juga berkontribusi terhadap Tujuan dan Target SDGs.
Life Below Water atau dengan kata lain menjaga ekosistem laut merupakan salah satu dari 17 tujuan yang merupakan SDG 14. Goal keempat belas ini adalah mengkonservasi dan memanfaatkan sumber daya laut, samudra dan maritim untuk pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu targetnya adalah pada tahun 2020, masing-masing negara diharapkan secara efektif meregulasi panen dan pengambilan ikan secara berlebihan, pemancingan illegal, tidak terlaporkan dan tidak teregulasi, juga praktek-praktek pemancingan yang destruktif. Lantas mengapa SDG 14 penting bagi pemerintah daerah?
Hampir 80% dari polusi di lautan berasal dari kegiatan-kegiatan yang ada di darat, baik di kawasan pesisir maupun lebih jauh ke pedalaman. Banyak kota-kota terbesar di dunia terletak di pantai dan banyak kota pesisir membuang limbah industri dan limbah-limbah lainnya langsung ke lautan di sekitarnya. Akan tetapi, melindungi lautan dan pantai bukan tanggungjawab kota-kota pesisir semata. Segala kegiatan perkotaan yang berlangsung di lembah sungai dapat memengaruhi lautan, seperti pembuangan air limbah atau limbah industri ke sungai. Dua-per-tiga dari limbah perkotaan di dunia dialirkan ke danau, sungai, dan lautan tanpa diolah terlebih dahulu. Sanitasi perkotaan, pengelolaan limbah padat, dan kerjasama antardaerah sangat penting untuk mengurangi pencemaran daerah pesisir. Pengembangan kota-kota pesisir perlu didukung dengan pengembangan dan implementasi rencana tata ruang serta kebijakan bangunan gedung agar sesuai dengan kemampuan lahan kawasan pesisir. Undang-Undang No.1 Tahun 2014. Undang-Undang ini berisi tentang perubahan atas Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, adapun alasannya UU No.27 tahun 2007 dinilai belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Setidaknya ada enam dasar pemikiran dibentuknya UU No. 1 Tahun 2014. Pertama, kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan kerusakan akibat bencana alam maupun aktivitas pemanfaatan sumber daya. Kedua, Akumulasi aktivitas eksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memperhatikan kelestarian sumber daya. Ketiga, Belum adanya peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Keempat, kurangnya kesadaran akan nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat. Kelima, kurang dihargaiya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Keenam, terbatasnya ruang partisipasi masyarakat yang menunjukkan belum terintegrasinya sistem pengelolaan sumber daya dengan kegiatan pembangunan.
1. Bagaimanakah Kondisi Penegakan Hukum Laut di Indonesia ? Sumber daya perikanan sebagai sebuah sistem, yang memiliki peran penting dalam penyediaan sumber makanan dan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat Indonesia membutuhkan pengelolaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang yang biasa disebut dengan sustainable. Dengan pemanfaatan yang berkelanjutan berarti sumber daya ikan dapat dimanfaatkan baik oleh generasi sekarang maupun untuk memenuhi kepentingan generasi masa depan. Keberlanjutan perikanan dicapai melalui pendekatan kemasyarakatan.
Hal ini dimaknai bahwa prioritas keberlanjutan perikanan diupayakan untuk memberi perhatian pada aspek keberlanjutan masyarakat perikanan sebagai sebuah sistem komunitas. Dengan demikian perikanan yang berkelanjutan tidak hanya ditujukan pada kelestarian sumber daya ikan saja atau keuntungan ekonomi saja, akan tetapi lebih dari itu, yaitu termasuk untuk keberlanjutan komunitas perikanan yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi yang tercakup didalamnya kualitas keberlanjutan perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan.
Berbagai ancaman yang membuat kerusakan laut di Indonesia cukuplah serius,misalnya saja mengenai pengeboman yang terjadi untuk memperoleh ikan, ikan-ikan yang berada daerah pegeboman dapat langsung mengalami kematian massal serta diikuti dengan kehancuran karang yang menjadi rumah mereka. Namun banyak nelayan yang bersifat tak mau tahu, karena dalam pikiran mereka hanya mendapatkan hasil banyak dan berpikir kalau terumbu karang masih sangat luas. Penggunaan bahan peledak di daerah terumbu karang akan menghancurkan struktur terumbu karang dan dapat meninggalkan gunungan serpihan karang hingga beberapa meter lebarnya.
Berdasarkan analisis terhadap ancaman-ancaman yang potensial bagi terumbu karang akibat aktivitas manusia (seperti pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebihan, praktik perikanan yang merusak, erosi, dan pencemaran), diperkirakan sekitar 27% dari terumbu karang dunia berada pada tingkat risiko tinggi dan 31% lainnya berada dalam risiko sedang. Ancaman-ancaman ini sebagian besar merupakan hasil dari peningkatan penggunaan sumber-sumber pesisir akibat populasi masyarakat pesisir yang berkembang secara cepat dan kurangnya perencanaan dan pengelolaan yang tepat.
Di sisi lain, aktivitas penangkapan yang intensif di terumbu karang juga memberi pengaruh terhadap populasi ikan dan ekosistemnya. Pengaruh tersebut nyata karena penangkapan akan mudah mengubah komposisi dan ukuran hasil tangkapan perikanan dan selanjutnya mengubah proses-proses yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang. Secara teori, pengetahuan tentang pengaruh penangkapan dapat menolong para pengelola perikanan untuk memprediksi respons perikanan terhadap penangkapan dan menyeleksi suatu strategi pengelolaan yang dapat memelihara tipe hasil tangkapan dan kuantitas yang menguntungkan. Mengingat besarnya ancaman terhadap terumbu karang dan ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumberdaya perikanan terumbu karang maka perlu adanya optimalisasi akan penegakan hukum serta pengelolaan ekosistem laut terhadap terumbu karang yang sudah rusak.
Indonesia telah memiliki banyak hukum yang mengatur masalah pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, tetapi pada kenyataannya masih terlihat tingginya derajat ketidakpatuhan untuk mengikuti peraturan-peraturan tersebut. Ini tercermin dengan meluasnya praktek penangkapan biota terlarang di hampir semua wilayah pesisir di Indonesia, bahkan juga terjadi pada kawasan yang sangat terpencil (remote area) sekalipun. Selain nelayan yang marak menggunakan bahan peledak untuk menangkap ikan, pelaku juga memperdagangkan coral atau terumbu karang secara ilegal. Berbagai aktivitas yang mengganggu terumbu karang itu tak dibarengi dengan aktivitas pemulihan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan kondisi terumbu karang Indonesia dari 93 daerah di lebih dari 1000 lokasi dari tahun 1993 hingga 2015.
Laporan tersebut menyimpulkan, dari sekitar 2,5 juta hektar luas terumbu karang di Indonesia, hanya 6,39 persen terumbu karang berada dalam kondisi sangat baik, 23,40 persen dalam kondisi baik, 35,06 persen dalam kondisi cukup, dan 35,15 persen berada dalam kondisi jelek. Pengukuran didasarkan pada persentase tutupan karang hidup, yaitu kategori sangat baik (76-100 persen), baik (51-75 persen), cukup (26-50 persen), dan jelek (0-25 persen).
Kegiatan penegakan hukum di Perairan Indonesia, menghadapi kendala-kendala yang sangat mendasar. Kendala-kendala tersebut terjadi hampir disemua aspek dari kegiatan penegakan hukum, dimulai dari kegiatan pemantauan sampai kepada kegiatan penuntutan dan penahanan para tersangka pelaku kegiatan terlarang. TNI AL bukan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan menegakkan hukum di laut. Direktur Eksekutif Indonesia Center for Democracy, Diplomacy & Defense, Reza Teukusyah, mencatat, hingga tahun 2013 terdapat 12 lembaga dengan kewenangan penegakan hukum di laut.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengamanatkan pembentukan sebuah lembaga penjaga laut dan pantai. Pasal 276 beleid tersebut mengatur, lembaga itu perlu dibentuk untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut. Desember tahun lalu, bertepatan dengan Hari Nusantara, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan pembentukan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk menggenapi perintah UU Pelayaran, yang dimana pembentukan Bakamla diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014. Untuk itu diperlukan pemusatan anggaran kapal ke AL Nantinya lembaga-lembaga yang memiliki wewenang penegakan hukum di laut tidak perlu membeli kapal patroli lagi karena TNI AL akan meminjamkan kapal-kapalnya kepada mereka.
2. Bagaimanakah Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir Sebagai Langkah Awal Menuju Laut Berkelanjutan ?
Pada hakekatnya terdapat beberapa alasan yang melatar-belakangi pentingnya pengelolaan wilayah pesisir, yaitu : Pertama, wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi. Perairan (coastal waters) daerah tropis seperti Indonesia, mendapatkan masukan unsur hara (nutrients) dari daratan melalui aliran sungai dan aliran air permukaan (run off) ketika hujan, serta siraman sinar matahari sepanjang tahun, sehingga memungkinkan proses fotosintesa terjadi sepanjang tahun pula.
Oleh sebab itu berbagai ekosistem paling produktif di dunia, seperti mangrove, padang lamun (seagrass beds), dan terumbu karang, tumbuh dan berkembang di wilayah pesisir. Ekosistem-ekosistem tersebut menjadi tempat pemijahan (spawning grounds) dan tempat asuhan (nursery grounds) bagi kebanyakan biota laut tropis seperti udang, kepiting, dan moluska. Selain berbagai jenis ekosistem tersebut, perairan pesisir daerah tropis juga kaya akan produser primer lainnya, termasuk fitoplankton (micro algae) dan rumput laut (macro algae – seaweeds). Oleh karena produser primer merupakan makanan utama dari organisme (biota) konsumer zooplankton (plankton hewani) dan berbagai jenis ikan, maka wajar jika sekitar 85 % hasil tangkapan ikan dunia berasal dari perairan pesisir (perairan dangkal) (FAO, 1993): dan hampir 90 % dari biota laut tropis sebagian atau seluruh daur hidupnya bergantung pada ekosistem wilayah pesisir (Poerwito dan Naamin, 1979; Berwick, 1982; Turner, 1985; dan Garcia, 1992). Dengan demikian, apabila kita ingin mendukung kelestarian (sustainability) dan produktivitas usaha perikanan, baik penangkapan maupun budidaya, maka kita harus memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan wilayah pesisir.
Kedua, wilayah pesisir memiliki potensi keindahan dan kenya-manan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata. Selain itu karena adanya kemudahan transportasi dan distribusi barang dan jasa, sumber air pendingin bagi industri, dan tempat pembuangan limbah; maka wilayah pesisir berfungsi sebagai pusat permukiman, pelabuhan, kegiatan bisnis, dll. Oleh sebab itu, wajar bila lebih dari separuh jumlah penduduk dunia bermukim di wilayah pesisir dan dua pertiga dari kota-kota besar dunia juga terletak di wilayah ini (World Bank, 1994 ; Cicin-Sain and Knecht, 1998). Ketiga, karena tingkat kepadatan penduduk dan intensitas pembangunan yang tinggi di wilayah pesisir, maka wilayah pesisir pada umumnya mengalami tekanan lingkungan (environmental stresses) yang tinggi pula. Selain dampak lingkungan yang berasal dari kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, wilayah ini juga menerima dampak kiriman dan berbagai kegiatan manusia.
Keempat, wilayah pesisir biasanya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources), sehingga berlaku rejim open access (siapa saja boleh memanfaatkan wilayah ini untuk berbagai kepentingan). Pada rejim open access ini, setiap pengguna ingin memanfaatkan sumberdaya pesisir semaksimal mungkin sehingga sulit dilakukan pengendalian, dan sering kali terjadi kehancuran ekosistem sebagai akibat tragedi bersama (tragedy of the common). Keadaan demikian dapat menjadi potensi konflik. Dengan karak-teristik wilayah pesisir seperti di atas, maka jelas bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal dan berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaannya dilakukan secara terpadu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable develop-ment), serta pendekatan pembangunan secara hati-hati (precautionary approach). Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah suatu tantangan dengan banyaknya orang yang terlibat, dan banyak di antaranya tidak memiliki sumber pendapatan atau protein alternatif. Banyak komunitas lokal memiliki sedikit pilihan mata pencaharian dan kecil kemungkinan untuk beradaptasi dengan kondisi baru. Peningkatan pengertian dan kerjasama dalam komunitas setempat sangat penting. Menurut Westmacott, et al. (2000), langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil dengan memberikan perhatian khusus bagi tindakan-tindakan sebagai berikut : a. Menentukan daerah tidak boleh menangkap ikan (daerah bebas penangkapan) dan pembatasan alat penangkapan untuk melindungi tempat berkembang biak dan menyediakan tempat berlindung bagi ikan; b. Menentukan ukuran ikan yang boleh ditangkap bagi: Ikan pemakan alga, seperti ikan kakak tua dan ikan butana yang berperan penting dalam mempertahankan substrat yang tepat bagi penempelan larva karang; Ikan pemakan karang, seperti ikan kepe-kepe dan ikan damsel yang ditangkap untuk perdagangan ikan akuarium, mungkin berkurang populasinya karena habitat dan sumber makanannya menurun. c. Penghentian sementara penangkapan beberapa jenis ikan terumbu karang sampai pulihnya terumbu karang tersebut; d. Memberlakukan peraturan yang melarang praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan dinamit, jaring insang (gill net), pukat cincin. e. Memantau komposisi dan ukuran penangkapan untuk mengevaluasi kesuksesan strategi pengelolaan dan mengimplementasikan strategi baru jika diperlukan; f. Mengembangkan mata pencaharian alternatif bagi komunitas nelayan bila diperlukan; g. Membatasi masuknya nelayan baru ke daerah penangkapan ikan dengan sistem pemberian izin; h. Mengatur pengambilan biota-biota terumbu karang untuk akuarium dan cindera mata. Peraturan yang mengatur kegiatan-kegiatan ini terdapat di beberapa negara dan harus digalakkan. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dapat membantu mengontrol perdagangan internasional dengan memberikan izin ekspor seluruh karang batu dan beberapa kerang (seperti kima raksasa). Negaranegara anggota CITES harus melaksanakan kewajiban mereka.
Selain tindakan-tindakan yang bersifat konvensional di atas juga dapat pula dilakukan pelbagai tindakan lain untuk memperbaiki produktivitas perikanan melalui manipulasi habitat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara penggunaan habitat buatan seperti penempatan terumbu buatan atau dengan perbaikan habitat yang rusak oleh manusia atau alam.
Usaha-usaha juga harus dibuat untuk menciptakan, memperbaiki, merehabilitasi atau mengurangi kerusakan habitat-habitat alami yang hilang. Restorasi digunakan terutama untuk memperbaiki atau mengganti kembali habitat-habitat yang telah rusak oleh aktivitas manusia atau peristiwa alam seperti badai. Habitat tropik penting yang dapat direstorasi, meliputi mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan rawa pasang surut yang kesemuanya merupakan pruduser primer utama dan habitat kritis untuk banyak spesies pantai yang penting (Bohnsack, 1989).
1. Kesimpulan Dalam rangka menjadikan bidang kelautan sebagai sektor unggulan dalam memperkokoh penegakan hukum di laut, maka diperlukan suatu formulasi kebijakan kelautan (ocean policy), Sumberdaya pesisir dan laut merupakan ekosistem yang sangat strategis bagi pembangunan nasional, maka dalam penetapan program dan kebijakannya harus diupayakan adanya efisiensi dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir, serta melindungi payung utama dalam rangka pembangunan laut berkelanjutan ini yaitu laut itu sendiri.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi terumbu karang dan memulihkan produktivitas perikanan terumbu, yaitu regulasi penangkapan seperti pengalihan ke praktik penangkapan yang tidak merusak, penutupan area terumbu karang untuk sementara dari penangkapan sampai pulihnya kembali terumbu karang, pengaturan dalam pemberian izin penangkapan, dan pembatasan pengambilan organisme terumbu karang untuk akuarium dan hiasan. Bagi terumbu karang yang telah rusak bisa dilakukan restorasi habitat dengan transplantasi karang dan terumbu buatan, dan yang populer dalam perlindungan ekosistem dan sumberdaya hayati ialah dengan pendirian daerah reservasi (konservasi) secara permanen.
2. Saran Solusi dalam pengembangan sektor ke- lautan dan perikanan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah adalah pendidikan, latihan dan penyuluhan yang mengikutsertakan tidak hanya pegawai dinas kelautan dan perikanan melainkan juga dari nelayan. Diharapkan dengan dilaksanakannya otonomi daerah dapat mendorong pertumbuhan yang lebih merata ke seluruh daerah, serta peran masyarakat dalam pembangunan dapat lebih diberdayakan. Untuk mencapai apa goals dari SDG14 yaitu untuk mengkonservasi dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya maritim, laut terkhusus di wilayah pesisir dalam rangka untuk pembangunan laut berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
International NGO Forum on Indonesian Development. (2017). Sustainable Development Goals. Diakses 10 Mei 2019. dari https://www.sdg2030indonesia.org/page/8-apa-itu.
Lestari, Fitri. (2017). Tingkat Kerusakan Laut di Indonesia dan Tanggung Jawab Negara Terhadap Kerusakan Ekosistem Laut Dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dan Konvensi Hukum Laut 1982. Jurnal Gema Keadilan Volume 4. 1.
Sulasdi, Widyo Nugroho. (2015, Juni 15). Rangkuman Kuliah 15 Juni 2015 Mata Kuliah Sistem Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Diakses 10 Juni 2019. dari https://www.uruqulnadhif.com/2015/06/uu-kelautan-uu-pengelolaan-wilayah.html?m=1.
United Cities and Local Governments Asia-Pacific. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Yang Perlu Diketahui Oleh Pemerintah Daerah (File PDF). Diakses 11 Mei 2019. dari https://www.uclg.org/sites/default/files/tujuan-sdgs.pdf.
Kurnia, Ida. (2017). Implementasi Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan di ZEE Indonesia. Jurnal Hukum Prioris Volume 6. 1.
Rani, Chairil. (2003). Perikanan dan Terumbu Karang Yang Rusak: Bagaimana Mengelolanya?. Jurnal Bionatura Volume 5. 2.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2017, Juni 8). Terumbu Karang Rusak. Diakses 13 Juni 2019. dari http://lipi.go.id/lipimedia/terumbu-karang-rusak/18429.
Dirhamsyah. (2007). Penegakan Hukum Laut di Indonesia. Oseana Volume 32. 1.
Utama, Abraham. (2015, Oktober 5). Tumpang Tindih Aturan Penegakan Hukum Maritim. CNN Indonesia. Diakses 13 Juni 2019. dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151004163018-20-82691/tumpang-tindih-aturan-penegakan-hukum-maritim.
Dahuri, Rokhimin. (2001). Pengelolaan Ruang Wilayah Pesisir dan Lautan Seiring Dengan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Mimbar Volume 17. 2.
Comentários