Gabungan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai pasal 63 sampai 71 buku I Bab VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Adapun bunyi pasal-pasal yang menjadi dasar hukum dari gabungan melakukan tindak pidana ini, adalah:
Pasal 63 tentang Concursus Idealis (1) Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana berlain, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya;(2) Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan.Dari pasal di atas maka orang yang melakukan tindak pidana sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan sebagaimana dimaksud oleh pasal ini.
Sedangkan ayat 2 menjelaskan apabila ada sesuatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus di samping pidana yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah yang dipakai. Ini adalah penjelmaan slogan kuno yang berbunyi lex specialis derogat lex generalis.
Pasal 64 tentang Vorgezette Handeling (1) Kalau antara beberapa perbuatan ada perhubungannya, meskipun perbuatan itu masing-masing telah merupakan kejahatan atau pelanggaran, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berturut-turut, maka hanyalah satu ketentuan pidana saja yang digunakan ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya;(2) Begitu juga hanyalah satu ketentuan pidana yang dijalankan, apabila orang disalahkan memalsukan atau merusak uang dan memakai benda, yang terhadapnya dilakukan perbuatan memalsukan atau merusak uang itu;(3) Akan tetapi jikalau kejahatan yang diterangkan dalam pasal 364, 373, 379 dan pasal 407 ayat pertama dilakukan dengan berturut-turut, serta jumlah kerugian atas kepunyaan orang karena perbuatan itu lebih dari Rp. 25,- maka dijalankan ketentuan pidana pasal 362, 372, 378, atau 406.
Pasal 64 ini menjadi dasar hukum bagi perbuatan yang berkelanjutan yaitu antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya ada kaitannya. Tindak pidana yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang berkelanjutan seperti pencurian ringan (pasal 364), penggelapan ringan (pasal 373), penggelapan biasa (pasal 372) selanjutnya beberapa penipuan ringan (pasal 379), penipuan biasa (pasal 378), perusakan barang (pasal 407 ayat 1) dan juga perusakan barang biasa (pasal 406).
Pasal 65 tentang Concursus Realis (1) Jika ada gabungan beberapa perbuatan, yang masing-masingnya harus dipandang sebagai satu perbuatan bulat dan yang masing-masingnya merupakan kejahatan yang terancam dengan pidana pokoknya yang sama, maka satu pidana saja yang dijatuhkan;(2) Maksimum pidana itu ialah jumlah maksimum yang diancamkan atas tiap-tiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari yang terberat ditambah sepertiganya.Apa yang tersirat dalam pasal 65 ini adalah bentuk gabungan beberapa kejahatan (concursus realis). Apabila terdapat seseorang yang melakukan beberapa kejahatan, akan dijatuhi satu hukuman saja apabila hukuman yang diancamkan adalah sejenis hukuman mana tidak boleh lebih dari maksimum bagi kejahatan yang terberat ditambah dengan sepertiganya. Pasal 65 ini membahas tentang gabungan kejahatan yang hukumannya sejenis.
Pasal 66 KUHP (1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan bulat (yang berdiri sendiri), dan merupakan beberapa kejahatan, yang atasnya ditentukan pidana pokok yang tidak semacam, maka setiap pidana itu dijatuhkan, tetapi jumlah lamanya tidak boleh melebihi pidana yang tertinggi ditambah sepertiganya;(2) Dalam hal itu pidana denda dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan pengganti yang ditentukan untuk perbuatan itu.Pasal 66 ini juga menjadi dasar hukum bagi gabungan beberapa perbuatan (concursus realis) hanya bedanya hukuman yang diancamkan bagi kejahatan-kejahatan itu tidak sejenis. Maka dari itu hukuman yang dijatuhkan tidak hanya satu melainkan tiap-tiap perbuatan itu dikenakan hukuman, namun jumlah semuanya tidak boleh lebih dari hukuman yang terberat ditambah dengan sepertiganya bagi hukuman denda diperhitungkan hukuman kurangan penggantinya.
Pasal 67 KUHP Pada pemidanaan dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, tidak dapat dijatuhkan di sampingnya pidana lain daripada pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang yang telah disita, dan pengumuman keputusan hakim.Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa hukuman kurungan dan hukuman denda tidak dapat dijatuhkan berdampingan dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup yang dikenakan.
Pasal 68 KUHP (1) Dalam hal ihwal yang tersebut dalam pasal 65 dan 66 maka tentang pidana tambahan berlaku ketentuan yang berikut di bawah ini:Ke-1 Pidana mencabut hak yang sama dijadikan satu pidana, lamanya, sekurang-kurangnya dua tahun, selama-lamanya lima tahun lebih dari pidana pokok atau pidana pokok yang dijatuhkan lain dari denda, dijadikan satu pidana sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun; (KUHP pasl 38)Ke-2 Pidana mencabut hak yang berlain-lainan, dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi;
Ke-3 Pidana merampas barang, begitu juga pidana kurungan pengganti jika barang itu tidak diserahkan, dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan yang tidak dikurangi.
(2) Jumlah pidana kurungan pengganti itu lamanya tidak lebih lama dari delapan bulan.
Pasal di atas berbicara mengenai apabila seorang hakim akan menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu yang sama jenisnya. Lamanya pencabutan harus sama dengan lamanya hukuman penjara atau hukuman kurungan yang dijatuhkan, ditambah dengan sedikit-dikitnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun.
Apabila hukuman tersebut tidak sama jenisnya, pencabutan hak itu dijatuhkan pada tiap-tiap kejahatan yang dituduhkan, tanpa dikurangi. Demikian pula apabila dijatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dari hukuman kurungan pengganti itu tidak diserahkan, maka tiap-tiap hukuman harus dijatuhkan tanpa dikurangi, sementara itu hukuman pengganti lainnya tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Pasal 69 KUHP (1) Perbandingan berat pidana pokok yang tidak semacam, ditentukan menurut urutan pada pasal 10;(2) Dalam hal hakim dapat memilih antara beberapa macam pidana pokok, maka untuk perbandingan hanya pidana yang terberat saja yang dapat dipilihnya;(3) Perbandingan beratnya pidana pokok yang semacam, ditentukan oleh maksimumnya;
(4) Perbandingan lamanya pidana pokok yang tidak semacam, maupun pidana pokok yang semacam ditentukan pula oleh maksimumnya.
Sebagaimana diketahui bahwa hukuman terdiri dari dua macam yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan yang ketentuannya terdapat dalam pasal 10, apabila terdapat dua hukuman yang berbeda maka diharapkan dipilih hukuman yang terberat, perbandingan lamanya hukuman yang tidak sejenis ditentukan oleh maksimumnya.
Pasal 70 KUHP (1) Jika ada gabungan secara yang termaktub dalam pasal 65 dan 66 antara pelanggaran dengan kejahatan atua antara pelanggaran dengan pelanggaran, maka dijatuhkan pidana bagi tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi.(2) Untuk pelanggaran jumlah pidana kurungan dan pidana kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan jumlah pidana kurungan pengganti tidak boleh melebihi delapan bulan.Pasal 70 ini memuat tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Maka dalam hal ini setiap kejahatan harus dijatuhi hukuman tersendiri begitu juga dengan pelanggaran harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri. Apabila terdapat hukuman kurungan maka hal ini tidak lebih dari satu tahun empat bulan sedang apabila mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Pasal 70 bis Dalam melakukan pasal 65, 66 dan 70 maka kejahatan yang diterangkan dalam pasal 302, ayat (1), 352, 364, 373, 379, dan 482 dianggap sebagai pelanggaran, tetapi jika dijatuhkan pidana penjara jumlah pidana ini bagi kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh melebihi delapan bulan.Untuk menjalankan peraturan dalam pasal 65, 66, dan 70 maka untuk kejahatan ringan harus dijatuhi hukuman sendiri-sendiri, dengan ketentuan apabila dijatuhi hukuman penjara maka tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Pasal 71 KUHP Dalam melakukan pasal 65, 66 dan 70 maka kejahatan yang diterangkan dalam pasal 302, ayat (1), 352, 364, 373, 379, dan 482 dianggap sebagai pelanggaran, tetapi jika dijatuhkan pidana penjara jumlah pidana ini bagi kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh melebihi delapan bulan.Untuk menjalankan peraturan dalam pasal 65, 66, dan 70 maka untuk kejahatan ringan harus dijatuhi hukuman sendiri-sendiri, dengan ketentuan apabila dijatuhi hukuman penjara maka tidak boleh lebih dari delapan bulan.
B. Teori Gabungan Melakukan Tindak Pidana
Pokok persoalan dalam gabungan melakukan tindak pidana adalah mengenai bagaimana sistem pemberian hukuman bagi seseorang yang telah melakukan delik gabungan, sebagaimana dijelaskan dalam bab pertama bahwa dalam KUHP terdapat empat teori yang dipergunakan untuk memberikan hukuman bagi pelaku tindak pidana gabungan, yaitu:
Absorbsi Stelsel Dalam sistem ini pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan. Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku jarimah untuk melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat. Dasar daripada sistem hisapan ini ialah pasal 63 dan 64, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan.
Absorbsi Stelsel yang Dipertajam Dalam sistem ini ancaman hukumannya adalah hukuman yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman terberat yang disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang digunakan adalah pasal 65.
Cumulatie Stelsel Adalah sistem cumulasi yang semua ancaman hukuman dari gabungan tindak pidana tersebut dijumlahkan, tanpa ada pengurangan apa-apa dari penjatuhan hukuman tersebut. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70 KUHP.
Cumulatie yang Diperlunak Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari masing-masing kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal 66 KUHP. Dari keempat stelsel di atas yang sering dipergunakan hanyalah tiga, yaitu sistem absorbsi, absorbsi yang dipertajam, dan cumulasi yang diperlunak. Sementara itu cumulatie murni tidak pernah dipergunakan dalam praktek, karena bertentangan dengan ajaran samenloop yang pada prinsipnya meringankan terdakwa. Sebagaimana diketahui bahwa adanya gabungan perbuatan maka menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Abdul al Qadir Audah dalam kitabnya Al-Tasyri’ al Jinaiy al Islami menjelaskan bahwa menurutnya dalam hukum positif terdapat tiga metode yang berkaitan dengan gabungan jarimah ini, yaitu:
Metode Penggabungan (al-Jam’u). Metode ini menghendaki diterapkannya atas pelaku kejahatan, hukuman bagi tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, teori ini disebut juga dengan teori kumulasi atau teori berganda.
Metode Penyerapan (al-Jabbu) yaitu memberikan hukuman yang paling berat di antara hukuman-hukuman yang lain yang harus diberikan. Metode ini menghendaki agar pelaku kejahatan tidak menerima hukuman kecuali hukuman yang paling berat atas beberapa jarimah yang dilakukannya. Teori ini disebut juga teori Absorbsi.
Metode Pencampuran (al-Mukhtalath) yaitu adanya penggabungan beberapa jenis hukuman namun tidak melampaui batas tertentu.
Pembahasan mengenai sistem hukuman tersebut di atas selanjutnya akan dibahas dalam bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana menurut KUHP.
C. Bentuk-Bentuk Gabungan Melakukan Tindak Pidana
Gabungan hukuman terjadi ketika terdapat gabungan melakukan tindak pidana. Gabungan melakukan tindak pidana hanya ada ketika seseorang melakukan beberapa jarimah sebelum ada ketetapan hukum final terhadap satu atau lebih perbuatan-perbuatan itu. Menurut ilmu hukum, dalam hukum positif terdapat tiga bentuk gabungan melakukan tindak pidana, yaitu:
Gabungan satu perbuatan / concursus idealis / Eendaadse Samenloop
Perbuatan berlanjut / Voorgezette Handeling
Gabungan beberapa perbuatan / concursus realis / Meerdaadse Samenloop
Adapun penjelasan dari ketiga bentuk gabungan tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut:
1. Gabungan satu perbuatan atau concursus idealis atau eendaadse samenloop
Yaitu gabungan suatu perbuatan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dan dengan melakukan perbuatan itu ia melakukan pelanggaran atas beberapa peraturan pidana.
Concursus idealis ini diatur dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu:
“Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana berlain, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.
Gabungan satu perbuatan (concursus idealis) menurut pasal 63 ini adalah melakukan suatu perbuatan yang di dalamnya termasuk beberapa ketentuan pidana yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara yang satu tanpa menghapuskan yang lain (conditio sine quanon).
Yang menjadi pokok persoalan dalam concursus idealis ini adalah mengenai pengertian suatu perbuatan (feit). Pertanyaan apakah suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai gabungan perbuatan bersamaan, ternyata sulit untuk menjawabnya. Ilmu pengetahuan dan pengalaman masih selalu mencari batas yang dapat dipakai untuk semuanya, meskipun dari beberapa putusan hakim sudah dapat dilihat adanya beberapa petunjuk, putusan masih juga sedikit banyak berdasarkan pertimbangan kasuistis. Dalam perkembangannya pengertian mengenai feit ini bermacam-macam. Pendapat lama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan feit adalah perbuatan material.
Jonkers berpendapat sebagaimana dikutip oleh E. Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana mendefinisikan satu perbuatan itu merupakan perbuatan yang dapat dihukum apabila suatu perbuatan yang dapat dihukum tidak dapat masuk dalam beberapa peraturan hukuman, karena setiap perbuatan yang dapat dihukum sudah memiliki peraturan hukum sendiri-sendiri. Hal ini berarti perbuatan mempunyai arti materiil artinya bahwa suatu perbuatan pidana itu harusnya benar-benar terjadi. Sementara itu pengarang-pengarang klasik seperti Van Hamel, Simons dan Zevenbergen menafsirkan feit sebagai satu perbuatan fisik (Lichamelijke Handeling). Vos membuat pula satu perumusan jelas tentang feit sebagai satu perbuatan fisik, yaitu perbuatan materiil atau perbuatan fisik, adalah perbuatan yang dilihat terlepas dari akibat yang ditentukan oleh perbuatan itu, terlepas dari unsur-unsur subyektif (kesalahan) dan terlepas pula dari semua unsur-unsur yang menyertai.
Sebagai contoh misalnya seseorang yang mengendari sepeda motor pada malam hari dan juga dalam keadaan mabuk, dengan kendaraan tanpa lampu dan tanpa SIM. Dalam kasus ini apabila diterapkan dalam pengertian satu perbuatan secara materiil maka kasus tersebut hanyalah terdapat satu perbuatan atau satu gerakan badan atau tindakan fisik semata, sehingga kasus inipun merupakan gabungan satu perbuatan sebagaimana yang terdapat dalam Arrest Hoge Road tanggal 26 Mei 1930. Namun demikian, hal ini tidak dapat memberikan kepuasan hukum karena pada dasarnya hukum pidana tidak mempersoalkan gerakan-gerakan badan. Berangkat dari kasus tersebut maka pada tanggal 15 Pebruari 1932 Hoge Road merubah pendiriannya yang mana hal itu bertentangan dengan Hoge Road tanggal 26 Mei 1930. Menurut Hoge Road 15 Pebruari 1932 dalam kasus tersebut di atas orang tersebut melakukan dua macam pelanggaran yang masing-masing berdiri sendiri dan berlainan sifat.
Kedua perbuatan tersebut tidak dapat dianggap menghasilkan gabungan dari satu perbuatan dengan pertimbangan:
1. Bahwa ciri dari perbuatan pertama harus dicari di dalam situasi dimana seseorang berada, sedangkan yang kedua di dalam keadaan kendaraan bermotornya. Bahwa kedua perbuatan tersebut harus dipandang dari sudut hukum pidana, terlepas satu sama lain.
2. Bahwa kebersamaan kejadian adalah bukan sesuatu hal yang sesungguhnya harus timbul, berhubung perbuatan yang pertama tidak menimbulkan yang kedua maka dari perbuatan yang pertama tidak dapat dianggap sebagai dalam keadaan dimana perbuatan yang lain berada.
Ada beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang gabungan melakukan tindak pidana, adapun menurut Van Hattum sebagaimana yang ditulis oleh:
1. Wirdjono Prodjodikoro dalam bukunya memberikan alasan dari perubahan Yurisprudensi Hoge Road 30 Mei 1930 dengan Hoge Road tanggal 15 Pebruari 1932, adalah:
a. Bahwa pada pactum perbuatan seorang mabuk, hal yang menentukan ada dalam keadaan si pelaku, sedangkan pada pactum mengendarai mobil tanpa 2 lampu, hal yang menentukan ialah keadaan mobilnya, maka ini dianggap ada 2 perbuatan.
b. Bahwa kedua perbuatan ini dalam gagasan seseorang dapat dipandang lepas satu dari yang lain.
c. Bahwa tiap-tiap perbuatan ini masing-masing merupakan suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dan yang bersifat berlainan satu dari yang lain.
d. Bahwa tiap-tiap perbuatan itu yang satu tidak diliputi oleh yang lain.
e. Bahwa dari kedua perbuatan itu yang satu tidak diliputi oleh yang lain.
f. Bahwa satu dari kedua perbuatan itu tidak dapat dianggap suatu keadaan yang di dalamnya perbuatan yang lain dilakukan.
g. Bahwa kedua perbuatan itu dapat nampak dan dikonstatir terlepas satu dari yang lain dan mungkin pada waktu-waktu yang berlainan.
Pada tanggal 6 Juni 1932 muncul lagi keputusan Hoge Road dalam kasus yang berbeda yaitu menangkap ikan dengan alat penangkap ikan yang dilarang, kecuali dengan surat ijin, dan dilakukan di perairan. Dengan tidak ada ijin dari yang punya, biarpun merupakan suatu perbuatan adalah dua perbuatan yang sifatnya berlainan yang senyatanya terpisah satu sama lain. Keputusan inipun ternyata belum juga dapat memenuhi rasa keadilan dari perasaan hukum sehingga muncul Arrest Hoge Road yang lain seperti pada tanggal 24 Oktober 1932.
Yurisprudensi Hoge Road tahun 1932 tersebut kemudian disusul oleh arrest-arrest yang lain; pada tanggal 1 Mei 1934 muncul kembali Arrest Hoge Road yang ini diharapkan dapat memberikan solusi dari makna satu perbuatan ini yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan satu perbuatan dalam pasal 63 ialah sebagai sebutan untuk segala tindakan yang dapat dihimpun di dalam satu ketentuan pidana.
2. POMPE: Hukum tidak mengenal gerakan otot atau gerakan-gerakan badan tetapi berbagai tujuan atau satu tujuan yang harus dicapai oleh sesuatu tindakan, tujuan yang khas dari tindakan itu adalah menentukan jawaban atas pertanyaan: “Apakah terdapat gabungan satu perbuatan atau gabungan dari beberapa perbuatan?” Satu perbuatan yang dimaksud dalam pasal 63 harus dipandang dari sudut hukum pidana.
3. VOS: Hanya terdapat gabungan satu perbuatan, apabila hanya terjadi satu peristiwa yang nyata dan tegas atau apabila terdapat beberapa akibat yang nyata atau perbuatan yang satu merupakan conditio sine quanon dari perbuatan lain.
4. Taverne: gabungan beberapa perbuatan terjadi apabila tindakan yang berbeda dari sudut hukum pidana inconcreto dapat dianggap satu sama lain terlepas.
5. V. Bemmelen: Gabungan satu perbuatan atas beberapa perbuatan pidana adalah tergantung pada terlanggarnya satu atau beberapa kepentingan hukum atau apakah terdakwa dengan melakukan perbuatan yang satu dengan sendirinya melakukan perbuatan yang lain.
Dari berbagai pendapat serta arrest-arrest Hoge Road tersebut di atas ternyata belum memberikan dasar yang tegas, namun demikian adanya pemaknaan satu perbuatan ke dalam pengertian materiil yaitu gerakan badan sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar bagi gabungan pidana ini.
Comments