LAW REVIEW
BY FEBRI MAULANA FACULTY OF LAW,UNIVERSITY OF HASANUDDIN
Building Anti-Coruption Character Melalui Pendidikan Formal Sebagai Bentuk Peluang Perlawanan dari Tantangan Pemberantasa Korupsi
“As we fight poverty,corruption becomes a necessary target of our efforts. Corruption, whether in government or in private organizations, is the unkindest theft we can suffer since it robs the poor and the needy before anyone else. It denies our children access to a decent education, eroding the foundations of their future. It steals our elders’ access to health and medical care, which they sorely need as pains and ailments accompany their twilight years. It diminishes the relief provided to those devastated by calamity. It further empties the plates of those who already starve, but still pay their taxes to found social services that they hope to benefit from.”
Buku Migraciones (Migrations), karya penulis Paraguay, Eligio Ayala, Bern, Switzerland, 1915, diunduh dari situs Integri News Philippines.
Kutipan buku diatas mendeskripsikan bahwa korupsi merupakan perunggut kebahagian dan kesejahteraan rakyat. Korupsi mengosongkan piring orang yang kelaparan, korupsi adalah perbuatan terkeji di abad ini, menghalangi generasi muda bangsa untuk mengeyam pendidikan, mengurangi intensifitas pelayanan kesehatan, bahkan perusak moral dan budaya bangsa. Jika rakyat Indonesia berperang melawan kolonial Belanda sebelum kemerdekaan, maka rakyat Indonesia pasca kemerdekaan memerangi korupsi demi penyelamatan moral, idealisme, dan kesejahteraan bangsa untuk pembangunan Indonesia yang lebih maju.
Secara historistik, bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.
Segala upaya yang dilakukan sejumlah pegiat antikorupsi untuk menguburkan korupsi sedalam-dalamnya dalam bumi, namun acapkali korupsi muncul dipermukaan bumi. Baik tindakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi maupun upaya-upaya masyarakat sipil, masih belum mampu mengobati penyakit negara ini (Country viruses). Sosialisasi, kampanye, aksi demontrasi oleh mahasiswa telah ditempuh sebagai wujud perjuangan anti korupsi bahkan jika menarik benang merah, sudah banyak lembaga-lembaga khusus yang dibentuk untuk memerangi korupsi tetapi belum mampu mengobati negara ini dari penyakit korupsi. Pandangan masyarakat bermunculan, diantaranya bahwa korupsi itu sudah membudaya di negeri ini sehingga sulit untuk melenyapkan di tanah air ini.
Catatan buku merah menunjukkan bahwa kasus korupsi di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan dalam kurun lima tahun terakhir ini. ICW melalui suatu kajian merilis ribuan orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi di periode 2014. Kajian itu dilakukan dalam rangka mengetahui terdapat peningkatan kasus korupsi di tanah air.2 Koordinator Divisi Investigasi dan Publikasi ICW, Tama S Langkun, mengatakan Semeter pertama 2014, terdapat 308 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 659 orang. Sedangkan kerugian negara sebesar Rp3,7 triliun. Sedangkan semester kedua, terdapat 321 kasus korupsi dengan 669 orang tersangka, serta kerugian negara sebesar Rp1,59 triliun.
Melihat kasus korupsi yang merajalela, lantas apakah hanya meratapi nasib bangsa ini dirundung pilu dan upaya apa yang perlu ditempuh demi mengobati negara dari Country Viruses (Korupsi)? Maka perlu adanya formula ampuh untuk mengobatinya yakni:
“Penanaman jiwa dan karakter antikorupsi melalui pendidikan formal”
Suatu konsep/formula yang tanpa dibarengi dengan tindakan sama halnya mengisi air botol yang berlubang. Jadi, konsep ini juga memelurkan tindak tanduk dari semua pihak, baik penegak hukum, kebijakan pemerintah, dan masyarakat sipil. Jika tahun 1974 Hongkong adalah Negara yang sangat korup dan korupsi dideskripsikan dengan kalimat “from the womb to tomb”, maka saat ini Hongkong adalah salah satu Negara di Asia dengan IPK yang sangat tinggi yaitu 8,3 dan menjadi negara terbersih ke 15 dari 158 negara di dunia.3 Keberhasilan ini merupakan efek simultan dari upaya pemberantasan korupsi dari segala segi termasuk pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan di sekolah secara formal.
Pemerintah melalui Mendikbud menciptakan kurikulum yang berbasis antikorupsi mulai TK-SMA sebagai bentuk tindakan preventif dan pembentukan karakter anti korupsi. ada sembilan nilai dasar yang perlu ditanamkan dan diperkuat melalui pelaksanaan pendidikan antikorupsi di sekolah, yaitu nilai kejujuran, adil, berani, hidup sederhana, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, hemat dan mandiri. Sehingga pada nantinya telah terbentuk jiwa dan karakter anti korupsi sejak usia dini. Mengingat begitu sulitnya mengobati negara ini dari korupsi yang dianggap telah membudaya, maka pemberantasannya dimulai dari akar-akarnya, tanpa menebas puncak-puncaknya lagi.
Refensi: Harahap, Krisna (2009) Pemberantasan Korupsi pada masa Reformasi. Jurnal of Historical Studies X Juni 2009. Dharma, Budi. (2004). Korupsi dan Budaya. dalam Kompas, 25/10/2003 Tony Kwok Man-wai, (2002) Formulating an Effective Anti-corruption Strategy: The Experience of Hongkong ICAC https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/fenomena-korupsi-dari-sudut-pandang-filsafatilmu/
Comments