DWIKEWARGNEGARAAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
Penulis: Estina
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suatu organisasi negara meliputi kelompok manusia yang berada didalam wewenangnya. Kelompok tersebut dapat dibedakan antara warga negara dengan bukan warga negara (orang asing).Warga negara merupakan landasan bagi adanya negara. Warga negara merupakan salah satu unsur mutlak bagi adanya negara, unsur lain adalah pemerintah yang berdaulat dan wilayah negara. Keseluruhan peraturan yang mengatur tentang unsur-unsur negara tersebut merupakan Hukum Tata Negara, dan menjadi obyek penyelidikan Ilmu Hukum Tata Negara.Karena peraturan kewarganegaraan mengatur salah satu unsur yang penting bagi adanya negara, maka peraturan kewarganegaraan merupakan obyek penyelidikan yang penting bagi Ilmu Hukum Tata Negara.[1]
Mengenai kewarganegaraan ganda secara konseptual dapat dimkanai secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, kewarganegaraan ganda mengacu konsep ‘’dwi kewarganegaraan’’ (dual citizenship/nationalitiy) pada status seseorang yang memiliki dua kewarganegaraan dari dua negara yang berbeda. Dalam arti luas, kewarganegaraan ganda diperluas tidak hanya terbatas pada dwi kewarganegaraan, namun juga lebih dari 2 banyak kewarganegaraan (plural/multiple citizenship/nationality).[2]
Pada umumnya peraturan kewarganegaraan hanya mengatur tentang siapa yang termasuk warga negara dan siapa yang termasuk orang asing, tidak mengatur tentang konsekuensi hukum dari status sebagai warga negara.Baik status sebagai warga negara maupun sebagai penduduk mempunyai konsekuensi hukum, yaitu menyangkut hak-hak dan kewajibannya.Kosekuensi hukum tersebut diatur di luar peraturan perundangan kewarganegaraan, tersebar dalam berbagai peraturan perundangan, baik dalam lapangan hukum privat maupun hukum publik.[3]
Istilah warga negara, rakyat dan bangsa menunjuk pada obyek yang sama. Warganegara Indonesia adalah rakyat Indonesia, dan juga adalah bangsa Indonesia.Antara pengertian warga negara, rakyat dan bangsa dapat dibedakan sebagai berikut, yaitu warga negara adalah pendukung negara.[4] Banyak cara yang ditempuhagar seseorang dapat menjadi warganegara, antara lain adalah dengan cara kelahiran, perkawinan, pengangkatan, pengangkatan anak, naturalisasi, turut serta ayah bunda, penaklukan suatu negara oleh negara lain, integrasi dan sebagainya.[5]Hal kewarganegaraan (citizenship) merupakan kajian esensial teori konstitusi dan hukum tata negara. Penduduk (population) adalah salah satu dari empat unsur konstitutif keberadaan negara, menurut sudut pandang hukum Internasional tepatnya padaMontevideo Convention on Rights and Duties of States yang dicetuskan pada Konferensi Pan-Amerika di Montevideo tahun 1933, menetapkan empat unsur konstitutif bagi suatu negara selaku subyek hukum Internasional. Artikel 1 Montevideo (1933) menegaskan : ‘The state as a person of international law should possess the following qualifications : (a). a permanent popolation. (b). a defined territory. (c). a capacity to enter into relations with other States’. Population atau penduduk selaku personen gebied dari negara, menetukan keberadaan institusi negara, baik negara selaku subyek hukum Internasional, maupun negara dalam kaitan konsep politik.[6]
Tidak cukup manakala negara hanya didukung oleh penduduk yang berdiam dan menetap di wilayah negara (staatsgebied), tetapi harus didukung pula sebagian besar warga negara yang menyatakan setia dan terikat kepada negara.[7]Pasal 26 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD NRI Tahuun 1945 merumuskan, bahwa penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.[8]Dalam memperoleh kewarganegaraan dengan cara kelahiran dikenal adanya dua asas, yaitu asas keturunan (ius sanguinis) dan asas tempat kelahiran (ius soli).Menurut ius sanguinis seseorang adalah warga negara jika ia dilahirkan dari orang tua warga negara, sedang menurut ius soli seseorang yang dilahirkan dalam wilayah suatu negara adalah warganegara dari negara tersebut.[9]
Ius sanguinis merupakan asas yang dapat memudahkan bagi adanya solidaritas. Namun demikian tidak semua negara menggunakan asas tersebut, sebab meskipun suatu negara mengatur kewarganegaraan berdasarkan persamaan keturunan, namun ikatan antara negara dengan warganegaranya dapat menjadi erat bila warganegara tersebut tinggal lama di negara lain. Sebaliknya tinggal bersama disuatu negara mengeratkan hubungan yang penuh rasa solidaritas antara orang-orang yang tinggal bersama di negara tersebut.[10]Ius soli terutama digunakan oleh negara-negara muda usianya yang masih membutuhkan rakyat yang berasal dari pendatang.Disamping itu ius soli cenderung digunakan oleh negara imigrasi, dimana banyak orang asing pindah ke negara itu.Dengan digunakannya hal tersebut, maka keturunan orang asing yang lahir di negara tersebut menjadi warganegara, sehingga dapat dicegah membengkaknya jumlah orang asing.Banyaknya orang asing di suatu negara dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Jika ada masalah yang menyangkut orang asing tersebut, akan melibatkan kedutaan-kedutaan dari negara yang bersangkutan yang berada di negara tersebut. Sebaliknya negara yang merupakan negara emigrasi di mana banyak warganegaranya pindah ke negara lain, mempunyai kecenderungan untuk menggunakan ius sanguinisdalam penentuan kewarganegaraannya. Hal tersebut untuk melestarikan hubungan antara negara leluhur dengan warganeegaranya yang pindah ke negara lain beserta keturunannya.[11]
Rumusan Masalah
Konsep Yuridis Warga Negara Indonesia Menurut Hukum Indonesia ?
Perjanjian antara RI dan RRC Mengenai soal Dwikewarganegaraan ?
Aturan Hukum Internasional Mengenai Kewarganegaraan ?
Penerapan Dwi Kewarganegaraan Di tinjau dari Hukum Internasional ?
PEMBAHASAN
Konsep Yuridis Warga Negara Indonesia Menurut Hukum Indonesia
Pasal 1 Ayat (1) UU Kewarganegaraan secara normatif menentukan, bahwa warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.Dengan makna penetapan peraturan perundang-undangan, maka dapatlah disimpulkan bahwa negara Republik Indonesia hanya dikenal dari konsep yuridis.[12]
Berdasarkan ketentuan tersebut, secara normatif di Indonesia tidak mengenal pengakuan warga negara selain sebagaimana yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.Artinya bahwa status kewarganegaraan seseorang adalah telah ditetapkan secara yuridis dalam suatu aturan perundang-undangan.Dengan demikian, apabila kewarganegaraan seseorang hanya diakui oleh bangsa Indonesia apabila sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[13] Undang-Undang Kewarganegaraan juga menentukan, bahwa yang berhak menjadi WNI adalah setiap orang yang berdasarknan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum UU Kewarga-negaraan ini diundangkan sudah menjadi warga negara Indonesia.[14]
Ketentuan ini memberikan implikasi, bahwa setiap orang yang sebelum UU Kewarganegaraan ini sudah menjadi warga negara Indonesia, maka secara otomatis dianggap sebagai warga negara Inonesia tanpa kecuali. Setelah ketentuan tersebut yang menjadi WNI secara otomatis disebabkan oleh dua peristiwa hukum :Pertama, proses kelahiran seseorang yang dikategorikan menjadi dua : (berdasarkan keturunan dari orang tua (ius sanguinis); (2) berdasarkan tempat kelahiran (ius soli); Kedua, proses pengangkatan anak (adopsi).
Pada saat ini politik hukum kewarganegaraan Indonesia menganut prinsip berkewarganegaraan tunggal (single nasionality).Prinsip ini telah dianut sejak Proklamasi 17 Agustus Tahun 1945 dengan menerbitkan UU No.3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang kemudian diganti dengan UU No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan terakhir di perbaharui dengan UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan PP No.2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. Hukum kewarganegaraan adalah seperangkat aturan yang berkenaan dengan segala hal yang berhubungan dengan warga negara (staatsburgers).Di dalam UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pada dasarnya prinsip kewarganegaraan tunggal tetap dipertahankan.[15]
UUDNRI 1945 Pasal 26 menyatakan bahwa: (1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. (2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. (3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang. Kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia terdapat suatu eksepsi mengenai prinsip kewarganegaraan tunggal (single nasionality) yaitu adanya prinsip Kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak-anak hasil perkawinan campuran orang tuanya dimana salah satunya berkewarganegaraan asing. Yang dimaksud dengan terbatas disini adalah bahwa terhadap anak-anak hasil kawin campur diberikan batas waktu terakhir sampai berusia 21 tahun untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimiliki yaitu memilih antara berkewarganegaraan Indonesia atau berkewarganegaraan asing dan hal ini harus dinyatakan.[16]
Sebelumnya Pemerintah Indonesia pernah menerbitkan ketentuan tentang pengaturan pemilihan kewarganegaraan Indonesia melaui persetujuan Perihal Pembagian warga Negara L.N. 1950 No.2, Republik Indonesia serikat dan Kerajaan Nederland (P3WN Tahun 1950) yang mengatur tentang tatacara untuk memilih Kewarganegaraan Indonesia atau Kewarganegaraan Belanda setelah serah terima kedaulatan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia. Selain itu UU No.2 Tahun 1958 tentang Persetujuan Perjanjian antara Pemerintah RI dan R.R.T mengenai kewarganegaran ganda tidak terbatas (dual nasionality), karena pada masa itu R.R.T/RRC yang sekarang disebut dengan Tionghoa/Tionghwa menyatakan bahwa seluruh keturunan Cina atau Tionghoa/Tionghwa diseluruh dunia adalah warganegara RRC atau Tionghoa/Tionghwa, hal ini menyebabkan terjadinya kewarganegaran ganda tidak terbatas (dual nasionality), bagi keturunan cina di berbagai Negara termasuk Indonesia.[17]
Dikarenakan Indonesia menganut konsep kewarganegaraan tunggal (single nasionality), maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah yang mengharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan bagi keturunan Cina atau Tionghoa/Tionghwa di Indonesia.Pemerintah RRC sendiri pada akhirnya mencabut ketentuan bahwa seluruh keturunan Cina atau Tionghoa/Tionghwa di seluruh dunia adalah warganegaranya.[18]
Perjanjian antara RI dan RRC Mengenai soal Dwikewarganegaraan
Perjanjian antara RI dan RRC mengenai soal dwikewaarganegaraan perlu disetujui dengan undang-undang. Untuk itu ditetapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 tentang persetujuan antara RI dan RRC mengenai Soal Dwikewarganegaraan, yang disahkan antara RI dan RRC mengenai Soal Dwikewarganegaraan, yang disahkan pada tanggal 11 Januari 1958 dan diundangkan pada tanggal 27 Januari 1958.[19]
Untuk melaksanakan Perjanjian antara RI dan RRC mengenai Soal Dwikewarganegaraan, yang telah disetujui dengan UU No. 2 Tahun 1958 (LN Tahun No. 5) ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1959 tentang melaksanakan Perjanjian mengenai Soal Dwikewarganegaraan yang ditetapkan pada tanggal 26 Mei 1959 dan diundangkan pada tanggal 1 Juni 1959.[20]
Peraturan Pemerintah tersebut tidak menyebutkan di dalamnya kapan mulai berlakunya.Peraturan Pemerintah ini sudah ditetapkan sebelum UU No. 2 Tahun 1958 mulai berlaku. Tentunya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk berlaku bersama-sama dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1958. Untuk menghilangkan keragu-raguan, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1960 dipertegas bahwa Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1959 mulai berlaku bersama-sama dengan perjanjian tersebut, yaitu pada tanggal 20 Januari 1960.[21]
Dalam Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1961 Pasal I dan IV ayat (2), yaitu orang-orang yng tersebut dalam Pasal 1 ayat (2) Cara Pelaksanaan Perjanjian tanggal 15-12-1960 (orang-orang yang masih mempunyai dwikewarganegaraan) dan orang-orang yang tersebut dalam Pasal 2 cara pelaksanaan perjanjian tangaal 15-12-1960 (orang-orang yang dengan sendirinya melepaskan kewarganegaraan RRC dan hanya mempunyai kewarganegaraan RI). Maka dua kelompok orang ini tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1959.[22]
Perjanjian antara RI dan RRC mengenai soal kewarganegaraan dibagi menjadi dua, yaitu menyelesaikan masalah dwikewarganegaraan yang sekarang ada dan mencegah timbulnya dikewarganegaraan di masa datang.Untuk mencegah timbulnya dwikewarganegaraan ini tidak membutuhkan aturan pelaksanaan. Mengenai masalah dwikewarganegaraan yang sekarang ada diselesaikan dengan menghilangkan kewarganegaraan RI atau kewarganegaraan orang-orang yang masih dianggap mempunyai dwikewarganegaraan, yaitu mereka yang dalam jangka waktu antara 27 Desember 1949 hingga 27 Desember 1951 masih belum dewasa dan yang mengikuti orang tuanya atau yang oleh orang tuanya ditolakkan kewarganegaraan RI-nya.[23]
Untuk menghilangkan salah satu kewarganegaraan tersebut :
Pemerintah RI dan RRC dapat menganggap suatu golongan diantara orang-orang yang berdwikewarganegaraan itu tidak mempunyai kearganegaraan rangkap lagi, karena menurut pendapat pemerintah RI, kedudukan sosial dan politik mereka membukikan bahwa merea dengan sendirinya (secara implisit) telah melepaskan kewarganegaraannya RRC;
Semua orang yang berkewarganegaraan rangkap, yang tidak ternasuk golongan tersebut di atas, harus memilih dengan kehendak sendiri kewarganegaraan mana ia ingin tetap memilikinya, dengan sanksi oarng yang tidak menyatakan pilihannya, bagi RI menjadi orang asing;
Suami/isteri yang berkewarganegaraan rangkap menentukan pilihannya sendiri-sendiri;
Anak selama belum dewasa mengikuti pilihan bapak, atau apabilan tidak mempunyai bapak sah atau apabila bapaknya meninggal dunia sebelum memilih, mengikuti pilihan ibunya; sesudah dewasa anak itu haus memilih, dengan sanksi apabila ia tidak menyatakan pilihannya, ia dianggap tetap berkewarganegaraan seperti selama belum dewasa.[24]
Dalam praktek kewarganegaraan masing-masing Negara bebas dalam mengatur sendiri soal memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan. Sehingga, dengan adanya kebebasan maka timbul berbagai peratran-peraturan dalam bidang kewarganegaraan, hal itu dapat timbul apabila peraturan kewarganegaraan di setiap negara seluruhnya sama. Berhubungan denga hal itu, maka dalam praktek, negara-negara berusaha untuk mencegah atau setidaknya mengurangi adanya kewarganegaraan rangkap.[25]
Prinsipnya orang-orang yang terkena oleh Perjanjian ialah orang-orang yang serempak mempunyaikewarganegaraan RI dan kewarganegaraan RRC pada saat muai berlakunya Perjanjian pada tanggal 20 Januari 1960.Dengan demikian orang-orang yang hanya berkewarganegaraan RI, orang-orang yang hanya berkewarganegaraan RRC dan orang-orang yang apatriade tidak terkena oleh perjanjian itu.[26]
Aturan Hukum Internasional Mengenai Kewarganegaraan
Konsepsi hukum internasional tentang kewarganegaraan atau nasionalitas pada awalnya hanya negara yang diakui sebagai subjek hukum inernasional.[27] Di era globalisasi seperti sekarang ini dimana teknologi dan transportasi sangat sudah maju dan berkembang menyebabkan hubungan antar bangsa pun berkembang sedemikian pesat dan mencakup berbagai macam segi kehidupan seperti perdagangan, perekonomian, perkawinan, bahkan sampai pada lingkup profesi yang menyebabkan seseorang tinggal lama di negara tujuan tertentu.[28]
Status hukum kewarganegaraan yang dimaksud disini adalah seseorang yang tekait dengan kewarganegraannya terhadap suatu negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Konsep status hukum kewarganegaraan menunjuk pada konsep hubungan hukum antara individu maupun negara, disamping menunjuk pada ada tidaknya pengakuan dan perlindungan secara yuridis maupun hak-hak dan kewajian yang melekat, baik individu maupun pada negara yang bersangkutan.[29]
Status kewarganegaraan merupakan bagian dari hak asasi manusia.Oleh karena itu setiap manusia berhak untuk mendapatkan status kewarganegaraan. Pengakuan status kewarganegaraan bagi seseorang akan melahirkan hak dan kewajiban hukum bagi orang yang bersangkutan, baik secara nasional maupun internasional. Ada pun instrumen hukum internasional yang mencantumkan hak kewarganegaraan antara lain :
Deklarasi Universal HAM 1948 dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan ‘’ (1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan. (2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya’’.[30]
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965, pada Pasal 5 huruf d romawi (iii) yang menyatakan ‘’ Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dasar yang dicantumkan dalam Pasal 2 Konvensi ini, Negara-negara Pihak melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras serta mnejamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal bangsa dan suku bangsa, untuk diperlakukan sama di depan hukum, terutama hak menikmati hak di bawah ini : (d) Hak sipil lainnya, khususnya: (iii) Hak untuk memiliki kewarganegaraan’’.
Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik 1966 dalam Pasal 24 ayat (3) yang mneyatakan bahwa ‘’Setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan’’.
Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1979, dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan bahwa ‘’(1) Negara-negara Pihak memberikan kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. Negara-negara pihak khususnya wajib menjamin bahwa baik perkawinan dengan orang asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan, tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan istri, menjadikannya tidak berkewarganegaraan atatau memaksakan kewarganegaraan suami kepadanya. (2) Negara-negara pihak wajib memberikan kepeda perempuan hak yang sama dengan laki-laki berkenaan dengan kewarganegaraan anak-anak mereka’’.
Konvensi Hak Anak 1989, pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan ‘’(1) Anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan dirawat oleh orang tuanya. (2) Negara-negara Pihak harus menjamin pelaksanaan hak-hak ini sesuai dengan hukum nasional mereka dan kewajiban mereka menurut instrumen-instrumen internasional yang relevan dalam bidang ini.[31]
Dari ketentuan hukum internasional di atas maka jelas bahwa masyarakat internasional mengakui bahwa status kewarganegaraan merupakan hal yang penting. Hal ini berkaitan dengan yurisdiksi seseorang apabila melakukan tindakan hukum di suatu negara lain dan status kewarganegaraan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang bersifat universal dan harus dihormati oleh siapapun secara internasional.[32]
Penerapan Dwi Kewarganegaraan Di tinjau dari Hukum Internasional
Dalam hukum kewarganegaraan Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran Republik Indonesia memperbolehkan status kewarganegaraan ganda, namun hal itu hanya terbatas berlaku pada anak dari pasangan pernikahan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, saat anak mencapai usia dewasa atau berumur 18 tahun, maka sang anak harus memutuskan kewarganegaraannya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[33]
Dilihat dari presepektif hukum Internasional menurut Pasal 1 Konvensi Den Haag Tahun 1930 dinyatakan bahwa penentuan status kewarganegaraan merupakan hak mutlak dari negara yang bersangkutan. Namun demikian hak mutlak tersebut tidak boleh bertentangan dengan General Principles (Prinsip Umum). Warga negara nerupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam kehidupan bernegara.Setiap negara mempunyai hak untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi warga negaranya, dalam hal ini setiap negara berdaulat, hampir tidak ada pembatasan.Namun demikian suatu negara harus tetap menghormati prinsip-prinsip umum hukum internasional.[34]Terkait dengan status kewarganegaraan, sangat penting artinya bagi setiap orang agar kedudukannya sebagai subjek hukum yang berhak menyandang hak dan kewajiban hukum dapat dijamin secara legal dan aktual.Terlebih dalam lalu lintas hukum Internasional, status kewarganegaraan itu dapat menjadi jembatan bagi setiap warga negara untuk menikmati keuntungan dari hukum Internasional.[35]
Terdapat beberapa asas kewarganegaraan yang mendasari hukum kewarganegaraan.Asas kewarganegaraan dapat dilihat dari dua hal, yaitu dari kelahiran dan perkawinan.Dari segi kelahiran terbagi lagi menjadi dua asas yaitu ius soli dan ius sanguinis, sedangkan dari segi perkawinan terbagi lagi menjadi dua asas, yaitu asas persamaan derajat dan asas kesatuan hukum.[36] Selanjutnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia memberikan definisi tentang pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.[37]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian bab-bab terdahulu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Secara normatif di Indonesia tidak mengenal pengakuan warga negara selain sebagaimana yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Artinya bahwa status kewarganegaraan seseorang adalah telah ditetapkan secara yuridis dalam suatu aturan perundang-undangan. Dengan demikian, apabila kewarganegaraan seseorang hanya diakui oleh bangsa Indonesia apabila sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Jika melihat aturan hukum Internasional mengenai Dwikewarganegaraan status kewarganegaraan merupakan hak mutlak dari negara yang bersangkutan. Namun demikian hak mutlak tersebut tidak boleh bertentangan dengan General Principles (Prinsip Umum). Prinsip umum tersebut, yaitu : tidak boleh bertentangan dengan kebiasan internasional, dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang secara internasional diterapkan dalam hal penentuan kewarganegaraan;
Mengenai status kewarganegaraan merupakan bagian dari hak asasi manusia sehingga setiap manusia berhak mendapatkan status kewarganegaraan. Bagi seseorang akan melahirkan hak dan kewajiban hukum bagi orang yang bersangkutan, baik secara nasional maupun internasional;
Status kewarganegaraan yang dianut dalam Undang-Undang kewarganegaraan merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang timbul dalam perkawinan campuran maupun setelah putusya perkawinan campuran yang terdapat perbedaan kewarganegaraan orang tua dan anak-nak hasil perkawinan tersebut, dengan melekatnya kewarganegaraan ganda makan anak tersebut tunduk pada dua yuridiksi dari dua negara (kewarganegaraan orangtuanya).
Saran
Melihat dwikewarganegaraan dalam prespektif Internasional, terkait dengan status kewarganegaraan merupakan hal yang urgen bagi setiap orang agar kedudukannya sebagai subjek hukum berhak menyandang hak dan kewajiban yang dapat dijamin secara legal sehingga perlu penguatan sistem dan aturan mengenai kewarganegaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Harsono.Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Liberty, 1992.
Nisar, Said M. Kewarganegaraan (Pemahaman dalam Konteks Sejarah, Teori, dan Praktik). Jakarta: Komisi Yudisial Hak Asasi Manusia, 2006.
Partian, Wayan I. Perjanjian lnternasional.Bandung: Mandar Maju, 2002.
Tutik, Triwulan Titik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amnademen UUD 1945.Jakarta: KENCANA, 2010.
Internet dan jurnal
Arizon, Kharisma.Aturan Hukum Pewarganegaraan Bagi Warga Negara Asing (WNA) yang Berdominsili di Indonesia dalam Upaya Memperoleh Status Kewarganegaraan Indonesia.Padang: Universitas Tamansiswa Padang, 2014.
Novianti.Status Kewarganegaraan Ganda Bagi Diaspora Indonesia Dalam Perspektif Hukum Internasional (dual Nationality For Indonesian Diasporas in International Law Perspective. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2014.
Spiro.(dwi kewarganegaraan) sebagai hak asasi, menggeneralisasi permasalahan tersebut sebagai masalah plural citizenship pada umumnya. Lihat Peter J. Spiro, ‘’Dual Citizenship As Human Rights’’. International Journal of Constitutional Law, Vol. 8 No.1. 2010.
Wulansari, Martiana, Eka. ‘’Konsep Kewarganegaraan Ganda Tidak Terbatas (Dual Nasionality) Dalam Sistem Kewarganegaraan Di Indonesia’’.Media Pembinan ukum Nasional.Volume 2, http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/.pdf, 2016.
www/sinar harapan co.id/tanggal 12 Juni 2004 (diakses pada tanggal 28 November 2016).
Perundang-undangan
UUD NRI Tahun 1945
Undang-Undang No. 4 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Konvensi Hak Anak Tahun 1989
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948
[1]Harsono, Huku Tata Negara Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, Liberty, Yogyakarta, 1992, hlm. 1.
[2]Spiro, dalam esainya mengenai dual citizenship (dwi kewarganegaraan) sebagai hak asasi, menggeneralisasi permasalahan tersebut sebagai masalah plral citizenship pada umumnya. Lihat Peter J. Spiro, ‘’Dual Citizenship As Human Rights’’, International Journal of Constitutional Law, Vol. 8 No.1, 2010, hlm. 111.
[3]Harsono, Op. cit., hlm. 2.
[4]Ibid.
[5]Ibid., hlm. 3.
[6] M. Said Nisar, Kewarganegaraan (Pemahaman dalam Konteks Sejarah, Teori, dan Praktik), Komisi Yudisial Hak Asasi Manusia, 2006, hlm. 33.
[7]Ibid.,hlm. 34.
[8] Lihat Pasal 26 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[9] Harsono, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, Liberty, 1992, hlm. 3.
[10]Ibid.
[11]Ibid.,hlm. 4.
[12] Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amnademen UUD 1945’’.Jakarta, KENCANA, 2010, hlm. 318.
[13]Ibid.,hlm. 319.
[14]Ibid.
[15]Wulansari, Eka Martiana, April 2015, ‘’Konsep Kewarganegaraan Ganda Tidak Terbatas (Dual Nasionality) Dalam Sistem Kewarganegaraan Di Indonesia’’.Rechtsvinding Online Media Pembinan Hukum Nasional.Volume 2, http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/.pdf, 16 Nvember 2016.
[16]Ibid.
[17]Ibid.
[18]Ibid.
[19] Harsono, Op. Cit., hlm. 47.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Ibid.,hlm. 48.
[24]Ibid
[25] Lihat www/sinar harapan co.id/tanggal 12 Juni 2004
[26] Harsono, Op. Cit., hlm. 52.
[27]I Wayan Parthiana, Perjanjian lnternasional, Bandung: Mandar Maju, 2002. hlm.19.
[28]Kharisma Arizon, dalam tulisannya ‘’Aturan Hukum Pewarganegaraan Bagi Warga Negara Asing (WNA) yang Berdominsili di Indonesia dalam Upaya Memperoleh Status Kewarganegaraan Indonesia’’, Universitas Tamansiswa Padang, 2014, hlm. 7
[29]Ibid.
[30] Lihat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2).
[31] Lihat Konvensi Hak Anak Tahun 1989 dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2).
[32]Op. cit., Novianti, ‘’Status Kewarganegaraan Ganda Bagi Diaspora……… hlm. 317.
[33]Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
[34]Ibid.,hlm. 314.
[35]Ibid.
[36]Ibid.
[37]Ibid.,hlm. 315.