Oleh: Andi Sahrul Akbarsyah
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang saat ini memiliki potensi sangat besar dalam hal sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM). Dengan potensi tersebut, tentunya Indonesia sudah sepatutnya mampu menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Bank Dunia memproyeksikan adanya peningkatan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) sebesar 5,1% pada tahun 2020, dari yang sebelumnya pada tahun 2019 sebesar 5%. Berdasarkan data tersebut, Perseroan Terbatas berada pada posisi yang cukup menentukan. Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi syarat yang ditetapkan menurut Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya. Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi yang penting di dalam perekonomian nasional, bersama-sama dengan pelaku ekonomi lain, yaitu swasta dan koperasi. Definisi BUMN menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian nasional. BUMN terbagi menjadi dua bentuk, yaitu Persero dan Perum. Persero merupakan BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang tujuan utamanya adalah untuk mengejar keuntungan. Sedangkan Perum bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Dalam upaya memperoleh keuntungan, faktanya tidak seluruh BUMN dapat memperoleh keuntungan. Pada akhir tahun 2019, terdapat 7 BUMN yang tetap merugi meskipun telah mendapatkan suntikan modal dari pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara, yaitu PT. Krakatau Steel Tbk., PT. Dirgantara Indonesia, PT Dok Kodja Bahari, PT PAL, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, dan yang terakhir adalah Perum Bulog. Atas kerugian tersebut, direksi memiliki peranan penting dalam hal mengambil kebijakan perusahaan yang justru menyebabkan kerugian bagi BUMN. Kerugian tersebut tidak jarang menyebabkan direksi harus bertanggungjawab karena dianggap telah mengambil keputusan yang menyebabkan kerugian bagi keuangan negara. Namun jika dilihat dari sisi hukum perusahaan, sebenarnya direksi diberikan kewenangan untuk mengambil langkah-langkah dalam hal pengurusan perseroan, seperti mengambil keputusan bisnis. Kewenangan yang diberikan kepada direksi tersebut dilindungi oleh hukum sehingga tidak dapat diganggu gugat meskipun keputusan tersebut mengakibatkan kerugian bagi perseroan, selama keputusan tersebut diambil dengan itikad baik, berdasarkan ketentuan yang ada, diambil secara rasional, dan tidak ada kepentingan pribadi. Adapun doktrin perlindungan atas keputusan bisnis yang diambil oleh direksi tersebut disebut dengan business judgement rule.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pengaturan Doktrin Business Judgment Rule di Indonesia? 2. Bagaimanakah Penerapan Doktrin Business Judgment Rule dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?
B. Pembahasan
1. Pengaturan Prinsip Business Judgment Rule di Indonesia Business Judgement Rule, menurut Angela Scheeman, merupakan doktrin yang mengajarkan bahwa direksi perseroan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan pada itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapat perlindungan hukum tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan. Pengertian dari doktrin sendiri adalah pendapat atau teori-teori dari para ahli hukum. C.S.T. Kansil dan Christine Kansil mengatakan bahwa kedudukan doktrin sendiri dalam praktiknya sangatlah penting dalam mempengaruhi pengambilan keputusan oleh hakim. Dalam mengambil keputusan, hakim sering kali mengutip pendapat atau teori dari seorang atau beberapa orang ahli hukum mengenai kasus yang dihadapinya, apalagi jika ahli hukum tersebut juga menyatakan mengenai bagaimana penyelesaian suatu kasus sampai dengan selesai. Jadi, dengan kata lain, kedudukan doktrin merupakan sebuah sumber hukum yang sangat berpengaruh bagi keputusan-keputusan hakim selain undang-undang. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa doktrin sebagai pernyataan atau pendapat seseorang atau beberapa ahli hukum merupakan salah satu sumber hukum. Adapun sumber hukum formal yang berlaku dalam hukum positif yaitu: (a) undang-undang (statue); (b) kebiasaan (custom); (c) keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie); (d) traktat (treaty); dan (e) pendapat ahli hukum (doktrin). Menurut Black’s Law Dictionary, Business Judgment Rule is the presumption that in making business decisions not involving direct self-interest or self dealing, corporate directors act on an informed basis, in good faith, and in the honest belief that their action are in the corporation best interest. Mengacu pada pengertian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa doktrin Business Judgement Rule pada pokoknya menganut sebuah prinsip bahwa pada dasarnya direksi sebuah perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, sepanjang keputusan tersebut telah diambil berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan. Doktrin Business Judgement Rule berasal dari sistem common law dan diterapkan oleh hukum perusahaan di Amerikat Serikat sebagai upaya untuk mencegah pengadilan-pengadilan di Amerikat Serikat mempertanyakan pengambilan keputusan bisnis oleh direksi. Stephen M. Bainbridge menjelaskan fungsi business judgement rule adalah untuk mencapai jalan tengah dalam hal terjadinya pertentangan antara otoritas direksi dalam menjalankan perseroan dan tuntutan akuntabilitas direksi terhadap para pemegang saham. Indonesia sendiri sebenarnya secara tidak langsung telah mengakomodir doktrin business judgment rule, yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu pada Pasal 97 ayat (5) yang menyatakan bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Pasal inilah yang dianggap oleh para ahli hukum sebagai pengewajantahan dari doktrin business judgment rule. Dari pasal ini pula kita dapat melihat bahwa anggota direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi apabila dapat membuktikan bahwa keputusan yang diambil adalah dalam rangka business judgment rule. 2. Penerapan Doktrin Business Judgment Rule dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Penerapan doktrin business judgment rule memiliki beberapa syarat yang harus terpenuhi, agar nantinya tidak terjadi abuse of rights and power terhadapnya. Syarat-syarat yang dimaksud adalah pengambilan keputusan tersebut: (a) dilakukan dengan itikad baik (good faith); (b) dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose); (c) putusan tersebut memiliki dasar-dasar yang rasional (rasional basis); (d) dilakukan dengan prinsip kehati-hatian; dan (e) dilakukan dengan cara yang layak dipercayainya sebagai yang terbaik bagi perseroan (fiduciary duty). Hikmahanto Juwana menjelaskan bahwa pada dasarnya apabila direksi telah memenuhi prinsip-prinsip pengambilan keputusan, serta mampu membuktikan bahwa tindakannya diambil dalam rangka business judgment rule, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas keputusan yang telah diambilnya. Dalam implementasi doktrin business judgment rule di Indonesia, meskipun kebijakan yang diambil oleh direksi masuk ke dalam ranah business judgment rule, namun penegak hukum cenderung mengabaikan hal tersebut. Dalam kasus investasi yang dilakukan oleh PT Pertamina, mantan direktur utama PT. Pertamina, Karen Agustiawan ditetapkan sebagai Terdakwa oleh Kejaksaan Agung. Karen Agustiawan didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam proses investasi di Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada tahun 2009. Ia pun divonis oleh majelis hakim 8 tahun penjara dan denda Rp. 1 Miliar meski sama sekali tidak menerima uang. Ia divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti memperkaya ROC Ltd sehingga menimbulkan kerugian negara. Karen Agustiawan yang tidak terima dengan vonis tersebut, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Akan tetapi banding Karen ditolak. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakara Pusat. Namun, pada tanggal 9 Maret 2020, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung menjatuhkan putusan dengan amar putusan antara lain melepaskan Karen Agustiawan dari segala tuntutan hukum. Juru bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengatakan, majelis hakim yang terdiri atas Suhadi sebagai Ketua Majelis, didampingi hakim anggota, Prof. Krisna Harahap, Prof. Abdul Latif, Prof. Mohammad Askin, dan Sofyan Sitompul memutuskan melepas Karen karena berpendapat apa yang dilakukan Terdakwa Karen adalah “business judgment rule” dan perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana. Lebih lanjut, menurut Majelis kasasi, putusan direksi dalam suatu aktivitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun meski putusan itu pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi perseroan. Hakim meyakini kalau tindakan Karen “itu merupakan risiko bisnis, bertolak dari karakteristik bisnis yang sulit diprediksi (unpredictable) dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Lain halnya dengan kasus korupsi Edward Cornelis William Neloe (ECW Neloe) yang menjabat sebagai direktur Bank Mandiri, dimana dibawah kepemimpinannya, Bank Mandiri menyetujui pemberian kredit kepada PT. Cipta Graha Nusantara sejumlah 160 Milyar Rupiah, yang mana pada kenyataannya data terkait debitur PT. Cipta Graha Nusantara dan beberapa informasi terkait merupakan data-data palsu. Nota analisa kredit bridging loan, agunan hanya berupa tagihan dari PT. Tahta Medan kepada PT. Manunggal Wiratama yang diketahui akhirnya ternyata PT. Manunggal Wiratama tidak pernah ada. Dalam hal ini terlihat bahwa pengambilan keputusan tidak dilakukan secara hati-hati. Padahal Informasi tersebut dapat diakses sebelum pelanggaran dan kerugian terjadi, terutama dalam memberikan kredit. Sehingga ECW Neloe tidak dapat dilindungi oleh doktrin business judgement rule sebagaimana diatur dalam pasal 97 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, jika melihat pada dua kasus tersebut, terlihat bahwa doktrin business judgment rule dapat melindungi direksi dalam mengambil sebuah keputusan bisnis, selama keputusannya diambil berdasarkan itikad baik, menerapkan prinsip kehati-hatian, dengan pertimbangan yang rasional, dan untuk kepentingan perseroan. Jika anggota direksi tidak menerapkan salah satu dari syarat yang harus dipenuhi, maka doktrin business judgment rule tidak dapat melindungi anggota direksi dari tuntutan hukum apabila terjadi kerugian atas keputusan yang telah diambil.
C. Penutup
1. Kesimpulan Business judgment rule merupakan doktrin yang mengajarkan bahwa direksi perseroan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan pada itikad baik dan hati-hati. Dengan adanya Pasal 97 ayat 5 UU Perseroan Terbatas, dapat dikatakan bahwa Indonesia sendiri telah mengakomodir doktrin tersebut, meskipun doktrin Business Judgment Rule berasal dari sistem common law. Implementasi daripada doktrin Business Judgment Rule memiliki beberapa syarat yang perlu dipenuhi, apabila direksi telah memenuhi prinsip-prinsip pengambilan keputusan, serta mampu membuktikan bahwa tindakannya diambil dalam rangka business judgment rule, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas keputusan yang telah diambilnya. Namun apabila terdapat salah satu syarat yang tidak terpenuhi, maka doktrin Business Judgment Rule tidak berlaku, dan anggota direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi apabila terjadi kerugian atas keputusan yang telah diambil. 2. Saran Anggota direksi sebuah perusahaan, khususnya BUMN diharapkan dapat mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan secara hati-hati, rasional, dan tanpa ada kepentingan pribadi sesuai doktrin business judgment rule, sehingga dapat memperkecil peluang kesalahan pengambilan keputusan yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Apabila keputusan tersebut ternyata menyebabkan kerugian, pengambil keputusan akan terhindar dari pertanggungjawaban secara pribadi selama keputusan yang diambil didasarkan pada prinsip-prinsip business judgment rule.
Daftar Pustaka Boen, Hendra Setiawan. (2008). Bianglala Business Judgment Rule. Jakarta: Tatanusa. Prasetio. (2014). Dilema BUMN: Benturan Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dengan Keputusan Bisnis Direksi BUMN. Jakarta: Rayyana Komunikasindo. Sjawie, Hasbullah F. (2017). Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana. Lestari, Sartika Nanda. (2015). Business Judgment Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan Usaha Milik Negara Di Indonesia. Notarius: Edisi 08 Nomor 2. Akram, Muhammad Hafizh &Nisriina Primadani Fanaro. (2019). Implementasi Doktrin Business Judgment Rule Di Indonesia. Ganesha Law Review: Volume 1 Issue 1. World Bank. (2019). December 2019 Indonesia Economic Quarterly: Investing in People. The World Bank. Diakses 25 Maret 2020. dari https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/december-2019-indonesia-economic-quarterly-investing-in-people. Widyastuti, Ariyani Yakti (Ed.). (2019). Sri Mulyani: 7 BUMN Merugi Meski Sudah Disuntik Modal Negara. Tempo. Diakses 25 Maret 2020. dari https://bisnis.tempo.co/read/1335448/bea-cukai-beri-panduan-cara-mendaftarkan-imei-ponsel-impor. Taher, Andrian Pratama. (2020). MA Vonis Bebas eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan. Tirto. Diakses 26 Maret 2020. dari https://tirto.id/ma-vonis-bebas-eks-dirut-pertamina-karen-agustiawan-eD27. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Comentários