Kepada : Saudara Penanya
Dari : Counselor Team ALSA LC Unhas
Perihal:
Mengenai kepemilikan rumah dari orang tua saudara yang kemudian berpisah, dimana rumah ini dibangun di atas tanah warisan dari ayah saudara namun untuk bangunannya sendiri berasal dari harta kedua orang tua saudara. Kemudian bagaimana upaya yang dapat saudara tempuh untuk memperoleh bangunan tersebut?
Penjelasan:
Terlebih dahulu yang harus diperjelas mengenai permasalahan ini adalah siapa pemilik dari rumah tersebut. Untuk mengetahui legalitas kepemilikan suatu bangunan, dapat dilihat dari nama yang tertera di sertifikat tanah. Berdasarkan informasi yang saudara berikan dimana rumah ini dibangun di atas tanah pemberian dari ibu ayahnya (nenek saudara), maka dapat disimpulkan bahwa tanah tersebut merupakan hak milik ayah saudara. Kemudian dalam Hukum Pertanahan Nasional yang berlaku saat ini terdapat asas pemisahan horizontal, yaitu adanya pemisahan kepemilikan antara tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. Maka kepemilikan atas bangunan dan tanah dalam kasus dapat dipisah.'
Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan mengenai harta bawaan dan harta bersama dalam perkawinan yaitu:
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Sehingga dapat disimpulkan tanah warisan yang didapat ayah saudara dari ibunya yang dijadikan tempat membangun rumah merupakan harta bawaan dari ayah saudara, dan ibu kandung saudara tidak memiliki hak atas tanah tersebut kecuali diwariskan. Kemudian rumah yang dibangun bersama oleh ayah dan Ibu kandung saudara merupakan harta bersama dalam perkawinan tersebut. Ketika terjadi perceraian maka harta bersama dibagi seperdua kepada kedua belah pihak.
Apakah Istri kedua ayah saudara memiliki hak atas tanah beserta rumah tersebut?
Dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. Berdasarkan hal ini, Istri kedua tidak memiliki hak atas rumah yang merupakan harta bersama pada pernikahan pertama ayah saudara. Istri pertama dapat menuntut untuk meminta seperdua dari rumah tersebut.
Terkait dengan upaya agar saudara dapat memiliki tanah beserta bangunan ini, dapat ditempuh dengan jalur pemberian atau hibah dari ayah saudara. Syarat dari hibah sendiri bahwa baik pemberi hibah dan penerima hibah harus masih hidup dan sudah memasuki usia dewasa, dan secara prinsipnya, hibah harus dilakukan dengan suatu akta notaris yang naskah aslinya disimpan oleh notaris. Namun, khusus untuk hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).
Saran:
Saudara dapat menyelesaikan konflik dengan ayah saudara melalui cara kekeluargaan dan melibatkan ibu kandung saudara. Untuk memperoleh rumah tersebut, saudara dapat menanyakan kembali kepada ayah saudara terkait kesediannya dalam memberikan rumah tersebut dalam bentuk hibah, yang kemudian pemberiannya disahkan dengan akta hibah.
Disclaimer
1. Jawaban ini tidak merepresentasikan kepentingan organisasi dan murni hanyalah pendapat hukum.
2. Apabila di kemudian hari terdapat dokumen-dokumen dan/atau keterangan-keterangan lain yang kami terima setelah pendapat hukum ini diberikan, tidak menutup kemungkinan terhadap pendapat hukum ini dapat dilakukan perubahan.
Harta benda yang di peroleh selama perkawinan (harta berma) .
Pertanyaan: jika pasangan tidak memiliki keturunan namun mengadopsi satu orang anak, apakah Istri berhak untuk tidak membagikan harta peninggalan suaminya? Dengan pertimbangan harta itu murni dari kerjasama pasangan semasa hidupnya, sedangkan harta itu hanya berupa tempat tinggal yang masih dihuni oleh istri almarhum.
Mohon jawabannya!!